Selasa, 28 September 2010

TAMPILAN KONSUMSI PAKAN,VFA,PROLAKTIN,,EFESIENSI PROTEIN DAN PRODUKSI SUSU AKIBAT ARAS SUPLEMENTASI Sauropus androgynus Merr. (KATU) DALAM RANSUM SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sub Sektor Peternakan memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya produksi susu, yang dari tahun ketahun permintaannya semakin meningkat dengan pertambahan jumlah penduduk, kemajuan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya susu dlam kehidupan
Permintaan susu secara Nasional baru dapat terpenuhi dengan produksi dalam negeri sebanyak 40 % sedangkan 60 % lainnya dipenuhi susu import. Ketidak mampuan dalam memenuhi permintaan susu dikarenakan produktivitas Sapi Perah Indonesia rata-rata masih rendah karena kualitas pakan, kualitas bibit dan tatalaksana pemeliharaan yang belum optimal.
Pembangunan Sub Sektor Peternakan khususnya Sapi Perah di Jawa Tengah terutama diusahakan oleh peternak kecil dipedesaan bertujuan untuk meningkatan pendapatan, perbaikan gizi masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan menghemat devisa.
Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi yang menjadi pusat pengembangan Sapi Perah di Indonesia selain Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan populasi pada tahun 2002 sebanyak 119.026 ekor tersebar di 35 Kabupaten/Kota terutama pada jalur susu yaitu Kabupaten Boyolali mempunyai populasi Sapi Perah tertinggi yaitu 63.848 ekor, kemudian disusul Kabupaten Semarang sebanyak 27.692 ekor, Kabupaten Klaten 7.899 ekor dan Kota Salatiga 6.769 ekor, sedangkan daerah Kabupaten/Kota lainnya rata-rata populasinya masih dibawah 3.000 ekor.Produksi air susu Sapi Perah di Jawa Tengah pada tahun 2002 adalah sebesar 80.063.770 liter, dengan rata-rata produksi antara 5,6 – 8 liter / ekor / hari dengan rata-rata calving interval 18 bulan.
Dalam rangka peningkatan produktivitas sapi perah dipandang bahwa daun katu (Katuk Babing katu Sauropus androgynus Merr) sebagai pakan suplemen diharapkan dapat memberikan dampak positip untuk meningkatkan konsumsi pakan efesiensi protein dan kualitas dan kuantitas produksi susu, untuk lebih jelasnya mekanisme proses pengaruh katu terhadap pertumbuhan kelenjar ambing dan konsentrasi susu bisa dilihat pada ilustrasi berikut ini:



Sauropus androgynus (L.) Merr. (SA)




ASAM-ASAM : 6. 7.
1. OCTADECANOAD AS. 17-KETOSTEROID AS. 3-4 DIME-
2. HEPTADECATRIONAD ANDROSTAN 17 ONE THYL-2-OXO-
METHYL ESTER 3-ETHYL-3-HYDROXY- CYCLOPEN-
3. OCTADECATRIONAD 5 ALPHA THYL-3-ENY-
ETHYL ESTER LACETAD
4. EICOSATRIONAD ESTER
5. EICOSYNAD




BERPERAN AWAL PADA STIMULATOR BIO- MERANGSANG
PEMBENTUKAN: SINTESIS HORMON STEROID KINERJA
a. PROSTAGLANDIN MIKROBIA
b. PROSTACYCLIN RUMEN
c. THROMBOXANE a. KINERJA REPRODUKSI (MENINGKAT-
d. LIPOXINE b. BIOSINTESIS SUSU KAN FERMENTA-
e. LEUKOTRINES c. PERTUMBUHAN SI RUMEN


Ilustrasi 1. Kandungan Kimiawi dan Fungsi Sauropus androgynus (L.) Merr.
(Soeprayogi, 2000)

Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka dilakukan penelitian dengan judul Tampilan konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1..2. Tujuan Penelitian
Mengetyahui konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1.3. Manfaat Penelitian
Memperoleh Informasi tentang konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dengan pemberian saplemen katu diharapkan :konsumsi pakan ,konsentrasi VFA,Prolaktin produksi susu dan efesiensi protein.
1.5. Kerangka Pemikiran
Produksi susu pada ternak sapi perah dipengaruhi oleh 30% faktor genetik dan 70 % faktor lingkunan diantaranya kualitas dan kuantitas pakan. Sapi Perah akan menghasilkan produksi susu yang tinggi dan memberikan hasil yang sesuai dengan kemampuannya bila diberikan pakan yang cukup dan dalam imbagan yang tepat, dalam hal ini pakan harus mengandung zat-zat makanan yang sesuai untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Soeharsono, 1985). Pemberian pakan konsentrat dengan kualitas yang baik akan mempengaruhi kelenjar ambing untuk mensintesis susu (Anderson, 1985). Kapasitas kelenjar ambing untuk mensintesis susu tergantung kecukupan nutrisi pakan pada pertumbuhan kelenjar ambing selama masa laktasi (Sudjatmogo, 1998). Perkembangan kelenjar ambing secara karakteristik terdiri atas tiga tahap yaitu : 1) pertumbuhan ductus oleh estradiol; 2) pertumbuhan lobus alveolus oleh progesterone dan 3) permulaan dan pemeliharaan laktasi oleh kerja prolaktin (Turner dan Bagnara, 1976). Prolaktin berfungsi untuk mengaktifkan perkakas sintesis sel-sel sekretoris kelenjar ambing Percabangan dan pembentukan lobul alveola kelenjar ambing terjadi setelah proses pemanjangan saluran kelenjar ambing selesai serta dipengaruhi oleh kontrol progesterone dan laktogen placenta (Forsyth, 1986). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing akan menyebabkan aktivitas sintesis protein meningkat.
Katu (Sauropus androgynus) merupakan tumbuhan semak yang tingginya dapat mencapai 2-3 meter dan tumbuh di dataran rendah maupun tinggi serta mudah dibudidayakan dengan cara stek untuk perbanyakan tumbuhan katu tersebut (Supardi, 1965). Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan ASI (Anonym, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan,hipertensi,hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al.,1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah,peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada Abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kwalitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997 ) Katu mengandung 7 asam diantaranya asam 17- Ketosteroid Androstan 17 one 3- ethyle – 3 Hidroxy 5 Alpha dari asam Androstan ini berfungsi sebagai pembentuk hormon estrogen,progesteron dan lagtogen plasenta sedangkan Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel lactotrop bagian depan hypopisa dengan adanya bantuan hormon estrogen,progesteron lagtogen plasenta insulin dan kartisol selama bunting akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ambing diantaranya pemanjangan nsistem saluran meningkatnya jumlah percabangan dan sel epitil atau sebagai pelamak pemacu pertumbuhamn ambinmg. Sedangkan kandungan asam yang ke 7 ,Asam 3-4 Denetyl –2- Oxocyclopenthyl –3-Enylagcetat ini berperan merangsang kinerja mikrobia rumen ,sehingga dapat meningkatkan VFA dengan meningkatnya VFA akan meningkatkan VFA VFA asam butirat,asam propionat dan asam asetat dari ketiga sam tersebut akan dirubah menjadi glukosa,setelah itu glukosa akan dirubag menjadi laktosa susu yang akan meningkatkan air susu dalam susu sehingga produksi susu akan meningkat.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. Sapi Frision Holstein (FH)
Karakteristik sapi perah warna belang hitam putih pada dahi ada warna putih yang berbentuk segitiga, kaki bagian bawah dab ekor warna putih, tanduk pendek menjurus ke depan; adapun sifat dari sapi tersebut tenang, jinak dan mudah dikuasai (Mulyono, 1985), tidak tahan di daerah yang panas dan dia lebih mudah menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, waktu dewasa tidak begitu cepat, berat badan yang jantan mencapai 800 kg sedang betina 625 kg; produksi susu dapat mencapai 4.500 – 5.500 liter per satu masa laktasi. Sapi tersebut berasal dari negeri belanda.
Fries Holland (FH) berasal dari Belanda, dikenal sebagai holstein sedangkan di Amerika dan Eropa dikenal dengan friesion. Warna putih belang hitam atau warna hitam putih ssampai warna hitam, ekor harus putih warna hitam tidak diperbolehkan di bawah persendian siku dan lutut. Badan dan ambing besar, kepala panjang sempit dan lurus, tanduk mengarah ke depan dan membengkok ke dalam. Dewasa umur 18 bulan, untuk anak pertama umur 28 – 30 bulan, berat badan betina 650 kg dan yang jantan 700 – 900 kg. Produksi susu mencapai 5982 liter per satu masa laktasi dengan kadar lemak 3,7% (Suprastowo dan Syarief, 1985). Menurut Blakely dan Bade (1994) perkembangan awal bangsa sapi perah Fresian Holstein (FH) bermula dari dua ekor yang dipelihara oleh suatu keluarga di Amerika dan merupakan bangsa sapi perah yang paling meninjol yakni sekitar 80 – 90% dari jumlah sapi yang ada.
2.Pakan
2.1.Hijauan
Hijauan adalah bahan pakan dalam bentuk daun-daunan yang kadang-kadang masih bercamour dengan batang, ranting serta bunga yang pada umumnya uang berasal dari tanaman sebangsa rumput dan kacang-kacangan (Lubis, 1963). Di daerah tropis pada umumnya suhu relatif panas sehingga kualita hijauan cenderung lebih rendah sehingga kurang tepat bila hijauan diberikan sebagai satu-satunya bahan pakan sapi perah laktasi, maka pemenuhan zat-zat gizi yang tidak tersedia di dalam pakan hijauan dipenuhi melalui pakan konsentrat (Sutardi, 1981). Siregar (1990) menyatakan bahwa banyaknya hijauan dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 2% bahan kering dari bobot badan.
2.2.Konsentrat
Menurut Schmidt dan Van Vleck (1974) pakan konsentrat berfungsi sebagai penambah energi, disamping mengandung protein tinggi dan kandungan serat kasarnya kurang dari 18% serta mudah dicerna (Prihadi, 1996). Kualitas konsentrat perlu diperhatikan dalam menyusun ransum sapi perah laktasi dan hal ini ditentukan oleh kandungan energi dan protein (Soelistyono, 1976). Seregar (1990) menyatakan bahwa pemberiann konsentrat yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kadar lemak susu sehingga perlu pengaturan pemberian pakan untuk mencapai produksi susu yang tinggi.
Dalam pemberian ransum pada sapi perah, berdasarkan bahan keringnya perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu pakan yang baik adalah 60 : 40% sehingga akan diperoleh koefisien cerna yang tinggi (Sudjatmogo et al., 1988) dan untuk pakan yang mutunya kurang baik imbangannya menjadi 55% : 45% dan bila mutu pakan sangat baik imbangannya menjadi 64 : 36% guna memberikan energi sebanyak mungkin (Siregar, 1990; Blakely dan Bade, 1994).
2.3.Katu Katu (Sauropus androgynus Merr.)
Katu adalah tumbuhan semak yang bisa mencapai tinggi 2 – 3 meter, tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dan sangat mudah dibudidayakan, yang dapat diperbanyak dengan cara stek (Supardi,1965).
Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan Air susu Ibu ( ASI ) dan mengandung protein,karbohidrat yang sangat baik untuk pertumbuhan (Anonim, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan,hipertensi,hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al.,1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah,peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada Abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kwalitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997).
3. Konsumsi Pakan
Tabel 1. Formulasi Ransum Penelitian

Makanan sebagai sumber zat nutrisi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok dan produksi. Tingkat produksi susu yang disekresikan sebagian tergantung pada ketersediaan bahan bakunya di dalam darah dan aliran darah yang mengalir melalui kelenjar ambing (Scmidt, 1971; Larson, 1985; Anderson, 1985). Komponen yang paling penting harus cukup dalam rnasum adalah energi. Kekurangan energi yang berasal dari karbohidrat akan mengakibatkan perombakan zat organik lainnya menjadi energi sehingga keefisienannya akan berkurang. Kekurangan konsumsi energi maupun protein pakan pada ternak yang laktasi umumnya merupakan penyebab utama rendahnya produksi susu (Sutardi, 1981). Oleh karena itu pakan yang diberikan pada ternak selama bunting dan laktasi akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan nantinya. Laktasi mebutuhkan energi yang lebih banyak dibandingkan pada waktu bunting. Pada waktu puncak laktasi, kebutuhan energi untuk sintesis susu dapat mencapai 80% dari neto yang dikonsumsi, kebutuhan ini jauh melebihi kebutuhan pemeliharaan hewan dewasa. Untuk mencukupi aliran substrat ke kelenjar ambing dapat ditempuh dengan perbaikan kualitas pakan, sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu (Collier, 1985).
Pemberian ransum perlu memperhatikan imbangan antara konsentrat dan hijauan. Pemberian konsentrat sebelum hijauan dimungkinkan untuk memaksimalkan jumkjah mikrobia dan mengoptimalkan kerja mikrobia rumen, sehingga hijauan dapat tercerna lebih optimal (blakely dan Bade, 1994).
Energi pada ternak ruminansia tidak bersumber pada glukosa tetapi pada asam lemak terbang yang diproduksi di dalam rumrn. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia selalu rendah, tetapi kebutuhan glukosa meningkat tiga kali lipat pada saat laktasi. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia berkisar 40 – 80 mg/dl (Collier, 1985
Kebutuhan bahan kering seekor sapi perah laktasi tergantung jenis ternak, ukuran tubuh dan keadaan fisiologis ternak (Sutardi, 1981). Dikatakan Syarief dan Sumopratowo (1985), sapi perah dewasa membutuhkan 2 – 4% bahan kering dari bobot badannya.
Penentuan nilai energi dalam istilah umum adalah energi dapat dicerna (TDN) yang didefinisikan sebagai jumlah bahan organik yaitu protein, BETN, serat kasar dan lemak tercerna (Crampton et al., 1969). Sutardi (1981) menyatakan bahwa kekurangan energi bagi sapi perah yang sedang laktasi dapat menurunkan bobot badan dan produksi susu, bila terjadi defisiensi energi yang berkelanjutan dapat mengganggu proses reproduksinya. Sapi perah yang kelebihan energi akan disimpan sebagai lemak tubuh dan bila kekurangan energi lemak tubuh akan dirombak untuk memernuhi kebutuhan energi tersebut sehingga bobor badan akan menurun (Muljana, 1985).
Penyediaan protein di dalam ransum ternak sangat penting karena protein dalam tubuh berperan sebagai: (1) bahan pembangun tubh dan pengganti sel-sel yang sudah rusak; (2) mengatur lalu lintas zat-zat yang larut; (3) bahan pembuat hormon, enzim dan zat penangkal (Sutardi, 1981). Syarief dan Sumoprastowo (1985) menyatakan bahwa sapi perah laktasi membutuhkan protein kasar sebesar 9 – 12% dari berat pakan dalam bahan kering. Esminger (1991) menyatakan pula bahwa kebutuhan protein sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran dewasa, kondisi tubuh dan rasio energi-protein.

BAHAN PAKAN BK PK SK LEMAK ABU Ca ENERGI
(kal/g)
KONS. A (KONTROL)

KONS. B
(PERLAKUAN)
R. GAJAH
80,7

88,3

23,3
9,0

17,3

14,5
18,11

11,5

33,11
0,38

4,40

1,98
3,92

13,10

12,10
1,26

3,95

1,82
250,70

267,60

142,99


4. Produksi Susu
Sapi setelah beranak mulai memasuki masa laktasi yaitu masa sapi diperah dan menghasilkan susuyang biasanya berlangsung selama 10 bulan qatau 305 hari. Panjang pendeknya masa laktasi tergantung pada mutu ternak frekuensi pemerahan ,kesehatan ternak,kualitas dan kuantitas pakan (Syarief dan Sumoprastowo,1985; Sudono ,1985 )
Produksi susu pada awal laktasi agak rendah, kemudian meningkat dan mencapai puncak antara 4 – 8 minggu setelah beranak dan produksi susu berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Tillman et al., 1991). Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi berhubungan dengan persistensi. Sapi perah yang berproduksi tinggi, biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai puncak produksi apabila dibandingkan dengan sapi yang berproduksi rendah (Prihadi, 1996)
Adanya perbedaan tingginya puncak produksi susu yang dicapai disebabkan oleh faktor genetik, kondisi tubuh dan kualitas pakan (Tillman et al., 1991) sehingga untuk mempertahankan persistensi produksi susu selama laktasi tidak menurun secara drastis, maka kondisi tubuh dan pakan yang diberikan harus mendapat perhatian terutama dari segi kualitasnya.
Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi, kurang lebih sebesar 6% setiap 6 bulan. Pada umumnya sapi perah mencapai puncak laktasi pada umur 6 – 8 tahun atau pada laktasi ke-4 sampai ke-6 dan setelah itu produksi susu akan mengalami penurunan (Blakely dan Bade, 1994). Produksi susu maksimal untuk sapi perah FH di daerah asal dicapai pada laktasi ke-5, sedangkan untuk daerah tropik dapat lebih cepat, yaitu laktasi ke-3 (Sukoharto, 1990).
Interval pemerahan akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah susu yang dihasilkan dan akan menurunkan kadar lemak susu. Puncak produksi dalam suatu periode laktasi dicapai pada minggu ketiga sampai keenam, kemudian produksi susu akan berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Eckles et al., 1951) . Dikatakan oleh Sutardi (1981) bahwa produksi susu sapi FH dan keturunannya di Indonesia adalah 2,92 – 20,9 liter per ekor per hari.
Dikatakan Yin (1984) dalam penelitiannya bahwa peningkatan level serat kasar dari 13% menjadi 20% dalam ransum mengakibatkan turunnya produksi susu dari 8,13 kg menjadi 7,64 kg. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh level protein dari 13% menjadi 20% dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu sapi perah dari 26,5  0,4 kg menjadi 29,9  0,5 kg per hari pada periode laktasi 1 – 8 minggu (Barton et al.,1996). Penelitian tentang penggunaan tipe konsentrat sumber energi dalam ransum sapi perah dapat mempengaruhi komposisi dan produksi susu (Agus, 1997).
4.1 Komposisi Susu
Dikatakan Wikantadi (1978), komposisi air susu sapi FH adalah 3,5% KL; 3% protein; 4,9% laktosa; 0,7% abu dan 12,2% bahan total padat. Komposisi air susu tergantung pada bangsa sapi, umur sapi, tingkatan laktasi dan status gizi (Tillman et al., 1991); interval pemerahan, suhu lingkungan dan kuantitas ransum (Esminger, 1001). Hadiwiyono (1992) menyatakan bahwa komponen utama susu adalah air, lemak, bahan kering tanpa lemak yang tersusun ari protein, laktosa, mineral dan vitamin. Menurut Sudono (1985), komposisi air susu sapi perah terdiri atas air 87% dan total solid 13%. Total solid terdiri atas solid non fat 9,5% dan fat 3,5%, seangkan solid non fat terdiri atas protein 3,6%, laktosa 4,8%, dan sisanya vitamin dan mineral.
Peningkatan konsentrat dan pengurangan hijauan akan menurunkan kadar lemak susu, karena konsentrat mengandung asam propionat yang digunakan sebagai lemak tubuh (Chamberlain, 1989). Peningkatan protein dalam ransum diatas kebutuhan normal tidak akan meningkatkan produksi susu dan hanya sedikit meningkatkan protein dalam susu sehingga tidak efisien (Suryahadi, 1997). Hasil penelitian Yin (1984) menunjukkan bahwa pengaruh level serat kasar dari 13% ke 20% dalam ransum dapat meningkatkan kadar lemak susu dari 3,37% menjadi 3,78%.
5.VFA (Volatyle fatty Acid )
Fermentasi karbohidrat didalam rumen lebih kurang 60 –70 % dari pakan untuk ternak ruminnansia terdiri dari karbohidrat dengan komponen utama berupa polisakarida. Dalam pakan kasar sebagian besar terdapat sebagai selulosa.Hemiselulusa dan lignin sedangkan dalam konsentrat terdapat sebagai pati. Proses fermentasi dalam Retikulo – rumen dilakukan oleh mikroba.Hasil utama fermentasi karbohidrat didalam retikulo rumen adalah Asam lemak Volatil (VFA = Volatyle fatty acid terutama sanm acetat ( C 2 ).Asam propionat ( C3 ).dan asam butirat (C4) disamping itu dihasilkan pula isobutirat,iso valerat, n-valerat dan laktat.VFA ini merupakan sumber energi utama untuk kebutuhan tubuh ternak induk semang.Perbandingan FVA yang dihasilkan tidak tetap tergantung (1) tipe pakan (komposisi ransum,perbandingan hijauan dan konsentrat,tingkat protein) (2) Pengolahan ( digiling bentuk pelet pemanasan ) dan (3 ) Frekuensi pembertian pakan
Bahaman pakan nutrisi utama yang dibutuhkan untuk metabolisme adalah bahan-bahan yang dihasilkan dari proses pencernaan bahan pakan.Pada ternak berlambung tunggal produk utama dari pencernaan. Karbohidrat adalah glukosa dan galaktosa serta fluktosa dalam jumlah sedikit.Pada ruminansia sebagian besar karbohidrat dufermentasi didalam rumen menjadi VFA yaitu asam asetat,propionat dan butirat.Asam asetat dan propionat diabsorpsi melalui dinding rumentanpa mengalami perubahan.Sedangkan asam butirat masuk kedalam darah portal melalui dinding rumen dalam bentuk asam beta hidroksi butirat (BHBA = Beta hidroxy Butiric Acid ) .Asam asetat dan BHBA melewati hati dan menuju organ-organ serta jaringan-jaringan lewat sirkulasi darah.Kemudian sam tersebut digunakan sebagai sumbbber energi atau untuk sintesis asam-asam lemak.Didalamm hati propionnat diubah menjadi glukosa yang disimpan dalam bentuk glikogen atau diubah menjadi L-glgliserol-3 fosfat serta digunakan untuk sintesis trigliserida.Glukosa yang tersisa masuk peredaran darah kejaru\ingan-jaringan untuk digunakan sebagai sumber energi.
6.Prolaktin (Luteotropik hormon = LH)
Hormon prolaktin pada mamalia merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan proses laktasi (Purbodihardjo, 1992). Hormon adalah zat kimia organik yang mempunyai efektivitas tinggi meskipun hanya dalam jumlah yang sangat sedikit dan dihasilkan oleh sel hidup yang segat dari sebuah kelenjar endokrin, masuk dalam pembuluh darah kemudian melalui sistim peredaran ke suatu organ tujuan atau target organ (Djojosoebagio, 1990). Hormon yaitu senyawa-senyawa kimia dibentuk oleh kelenjar-kelenjar buntu dan masuk dalam darah untuk mengatur proses metabolik dalam sel tubuh (Ganong, 1980). Memu-ut Hafeeez (1980),hoemon yaitu suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh suatu area tertentu dari set hidup organisme, yang akan terdifusi atau diangkut ke bagian lain organisme itu yang akan mengatur integrasi komponen dalam organisme dan mengatur integrasi komponen dalam organisasi dan mengatur aksi dari organisme tersebut. Hormon menurut Partodihardjo (1987) adalah zat organik yang diproduksi oleh sel khusus dalam badan dirembeskan ke dalam peredaran darah, dengan jumlah sangat kecil, dapat merangsang sel-sel tertentu untuk berfungsi.
Prolaktin merupakan hormon protein dari hipopisa anterior dengan bobot molekul 22.000 – 35.000, efek prolaktin yang spesifik adalah merangsang sintesis protein susu termasuk diantaranya laktobumin, lemak dan karbohidrat (Djojosoebagio, 1990; Moses,1977 ). Reseptor dari prolaktin didapati pada tenunan kelenjar ambing dan terdapat pada permukaan dari sel-sel alfeolus. Kadar prolaktin yang sangat tinggi didapati pada fetus, pada kebuntingan 20 minggu kadar prolaktin mencapai 300 ng/ml (Larson, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa prolaktin mengatur konsentrasi dan reseptornya sendiri, ini merupakan sistem kontrol jarak jauh. Dalam sistem ini tingkat pertambahan konsentrasim prolaktin akan menambah konsentrasi reseptor prolaktin. Penelitian menunjukkan bahwa estrogen merangsang sekresi prolaktin dan kemungkinan lain hormon dari pituitary abterior.( Moses,1977 ) prolaktin dipandang suatu hormon reproduksi karena kesanggupannya merangsang laktasi mamalia dan pertumbuhan.
Apabila sapi bunting maka terjadi pertumbuhan dari sistem saluran dan juga alveoli berkembang pesat dikarenakan oleh kerja hormon progesteron pembesaran ambing sebagian besar terjadi karena akumulasi sekresi dari alveoli ke dalam sistem saluran yang kemudian dikeluarkan dan dibentuk kolesterum. Sekresi air susu ini terjadi oleh pengaruh hormon prolaktin atau laktogen. Galaktopoesis merupakan suatu kegiatan yang mempermudah terjadinya laktasi kegiatan ini dilakukan oleh hormon-hormon yang berperan dan memelihara sekresi air susu, diantaranya yaitu prolaktin yang sangat penting di dalam permulaan dan pemeliharaan sekresi air susu, karena hormonm ini memelihara sebagaian dari ensim untuk pembentukan air susu (Schmidt, 1971).
7. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Ambing
Susu sebagai hasil sekresi kelenjar ambing, produksinya tidak terlepas dari kondisi kelenjar ambing itu sendiri sebagai pabrik. Kelenjar ambing yang baik tumbuh dan berkembang baik pula yang dapat dilihat dari banyaknya sel-sel sekretoris yang terdapat di dalam kelenjar ambing tersebut, karena sel-sel inilah yang akan mensintesis komponen-komponen susu (Anderson, 1985). Kelenjar ambing berkembang sesuai dengan perkembangan embrio dan sudah terbentuk sempurna pada saat lahir (Anderson, 1985) dalam bentuk saluran kelenjar yang pada ujung-ujungnya terdapat sel-sel yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi sel-sel sekretoris
















BAB. III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perusahaan peternaan sapi perah PT. RAHMAN ALA MAKMUR (RAM) Boyolali, yang akan dimulai pada bulan September sampai dengan Oktober 2004.

3.2. Materi Penelitian
3.2.1. Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi perah freisian holstein (PFH) laktasi kedua bulan pertama, sebanyak 18 ekor dengan bobot badan berkisar antara 350 – 400 kg dengan kondisi sehat.
3.2.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan meliputi :
1. Timbangan ternak
2. Timbangan pakan
3. Gelas ukur
4. Pita ukur
5. Laktodensimeter
6. Sentrigufuge
7. Tabung reaksi
8. Alat pendingin / Refrigerator
9. Spuit dan canul
10. Kantong plastik
11. Ember
12. Alkohol
13. Vaslin
14. Lab/ handuk


3.2.3. Pakan untuk perlakuan
1. Pakan yang digunakan dalam penelitian yaitu konsentrat yang dibuat sendiri dengan kandungan protein 9% dan 17%.
2. Katu yang sudah dibuat tepung
Komposisi bahan pakan yang digunakan adalah hijauan dari rumput gajah, onggok, bekatul, bungkil kelapa, bungkil biji kapuk, urea, mineral dan garam.
3.3. Metode Penelitian (Prosedur Penelitian)
3.3.1. Pemilihan sapi
Sapi perah awal sebanyak 36 ekor dalam keadaan kering kandang dan bobot badan 350 – 400 kg (CV < 15%). Selanjutnya dari 36 ekor tersebut dipilih 18 ekor yang mempunyai rata-rata produksi susu 8 – 10 liter per hari (CV < 20%) sebagai materi penelitian.
3.3.2. Pelaksanaan penelitian
Sapi perah sebanyak 18 ekor secara acak dialokasikan ke dalam enam perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga sapi. Pengamatan variabel dilakuakn selama empat kali dengan interval pengamatan tujuh hari yang dinggap sebagai kelompok. Perlakuan-perlakuan yang diterapkan sebagai berikut :
P1T0 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% tanpa penambahan tepung katu
P1T1 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,285 g/kg BB
P1T2 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,428 g/kg BB
P2T0 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% tanpa penambahan tepung katu
P2T1 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,285 g/kg BB
P2T2 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,248 g/kg BB
Pakan konsentrat dan tepung katu sebagai perlakuan diberikan mulai pada pralaktasi
3.3.3. Parameter yang diamati
1.Konsumsi pakan sebelum diberikan ditimbang setelah dikonsumsi
Sisanya ditimbang Kualitas pakan yang meliputi ( bahan kering, protein kasar) Pengukuran dilakukan dengan analisis proksimat di fakultas Teknologi Pertanian UGM.
2.Konsentrasi FVA dihitung gram permili meter
3.Prolaktin Pengamatan sempel darah diambil dari masing-masing perlakuan sebanyak 10 CC kemudian dimasukan dalam tabnung reaksi disimpan dalam tremas es kurang lebih 2 –3 jam kemudiian disentrifuge untuk diambil serum darahnya untuk menunggu sempel selanjutnya disimpan dallam refrigator (- 20 derajat selcius )
4.produksi susu (l/ekor/hari), pengukuran sampel dilakukan pada hasil pemerahan pagi dan sore hari selama satu bulan
5.Efesiensi protein.

3.4. Rancangan Percobaan dan Hipotesis Statistik
3.4.1. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini Rancangan Acak lengkap Faktorial (Faktorial – RAL), adalah waktu pengamatan sebanyak empat kali.
Semua parameter diamati untuk setiap individu sehingga analisis yang digunakan adalah analisis varians (Analisys of Varians) dan pengamatan dilakukan pada empat waktu berbeda yaitu pada minggu pertama (Pralaktasi), minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat dengan selang waktu 7 hari.








Lay out penelitian sebagai berikut


KATUK Protein Waktu Pengamatan minggu ke- (Kelompok)
1 2 3 4
T0

T1

T2
P1
P2
P1
P2
P1
P2 Y111
Y121
Y211
Y221
Y311
Y321 Y112
Y122
Y212
Y222
Y312
Y322 Y113
Y123
Y213
Y223
Y313
Y323 Y114
Y124
Y214
Y224
Y314
Y324

Model linier untuk rancangan ini :

Yijk = µ + i + j + Kij + ijk i = 1, 2, 3
j = 1, 2
k = 1, 2, 3, 4

dimana :

Yijk = pengamatan respon katu ke-i dan kadar protein ke-j dan kelompok ke-k
µ = rerata populasi
i = respon perlakuan katu ke-i
j = respon perlakuan kadar protein ke-j
Kij = respon kelompok akibat perlakuan katu ke-i dan perlakuan kadar protein
ke-j
ijk = galat akibat perlakuan katu ke-i perlakuan kadar proyein ke-j dan
ulanganke-k




3.4.2. Hipotesisi yang dapat diambil sebabagi berikut:
1. H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
Perhitungan selengkapnya menggunakan paket SAS 6.12 for Windows

3.5. Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan B u l a n
Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
1. Pembuatan proposal
2. Persiapan materi
3. Analisis proksimat pakan
4. Pemilihan sampel
5. Penelitian pendahuluan
6. Pelaksanaan penelitian
7. Analisis laboratorium
8. Pengumpulan data
9. Tabulasi, analisis data dan penulisan laporan 



































 


















DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. 1997. Pengaruh Tipe Konsentrat sumber energi dalam Ransum Sapi Perah Berproduksi Tinggi terhadap Produksi dan Komposisi Susu. Buletin Peternakan. 21 (I : 45-54).

Anderson, R.R. 1985. Mammary Gland. In Lactation. Larson B.L. Ed. Iowa State University Press. Ames. Pp : 3-38

Anonim. 2003. Lancar ASI. PT. Mecosin Indonesia.

Bambang, S. 1981. Rancangan Percobaan Experimental Designs Staf Bagian Biometrika Universitas Diponegoro

Barton, B.A., H.A. Rosario, G.W. Anderson, B.P. Grindle dan D.J. Carroll. 1996. Effect of Dietary Crude Protein, Breed, Parity and Health Status on The Fertility of

Bender, A.E. dan K.S. Ismail. 1975. Nutritive Values and Toxicity of Malaysian Food, Sauropus albicans. Plant Foods Man, 1 : 139-143.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Soedarsono)
.
Collier, R.J. 1985. Nutritional, Metabolic and Enviromental Aspects of L:actation in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University Press. Amess. pp : 80-128
.
Crampton, E.W. dan H. Haris . 1969. Applied Animal Nutrition. 2nd Ed. W.E. Freeman and Company, San Fransisco

Djojosoebagio, S. 1990 Fisiologi kerlenjar Endokrin Vol. I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidika Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,Institut Pertanian Bogor.Bogor

Djojosoebagio, S. 1990 Fisiologi kerlenjar Endokrin Vol. II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidika Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,Institut Pertanian Bogor.Bogor
.
Ensminger, M.E. 1991. Dairy Cattle Science. 3th Ed. Interstate Published Inc. Angelwood Cliffs, New Jersey
.
Forsyth, I.A. 1986. Varition among Species the Endokrine Control of Maamary Growth and Function. The Role of Prolactin, Growth Hormone and Plasental Laktogen. J. Dairy Sci. 46 : 1293-1298.

GER, L.P., A.A. Chiang, R.S. Lai, S.M. Chien dan C.J. Tseng. 1997. Association of Sauropus androgynus and Bronchiolitis obliterans syndrome : A Hospital-based Case Control Study. American Journal of Epidemiology, 145 (9) : 842-849

Hafez, E. S. E. 1980. Reproduction In Farm Animal Ed. Lea And Fibiger Philadelpia,USA.

Kehrli, M.E.J.R. dan D.E.Shuster.1993.Factors Afecting Milk Somatic Cell Their Role In Health of The Bovine Mamary Gland .J. Dairy Sci. 77: 619 - 627
.
Larson, B.L. 1985. Biosynthesis and Selluler Secretion of Milk in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University / Ames. pp : 129-163.

Loekito , A.S. 1996. Pengantar Perancangan Percobaan Suatu Pendekatan Praktis Penerbit Ikip Malang

Lubis, D.A. 1963 Ilmu Makanan Ternak PT Pembangunan Jakarta

Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan .Penerbit Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan. Fakultas Kedokteran Veteriner. Jurusan Reproduksi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan .Penerbit Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan. Fakultas Kedokteran Veteriner. Jurusan Reproduksi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Muljana, W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. Aneka Ilmu, Semarang.

Prihadi, S. 1996. Tata Laksana dan Produksi Ternak Perah. Fakultas Pertanian Universitas Wangsamanggala, Yogyakarta.

Santoso, S.O., M. Hasanah, S. Yuliani, A. Setiawati, Y. Mariana, T. Handoko, Risfaheri, anggraeni, A. Suprayogi, N. Kusumorini dan W. Winarno. 1997. Production of Medicine Product from Katuk’s leaves (Sauropous androgynus Merr) to increase the secretion and quality of Brest Milk. Integreted Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu II).

Scmidt, G.H. 1971. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.

Scmidt, G.H. dan L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco
.
Siregar, S. 1990. Sapi Perah, Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharsono. 1985. Eksplorasi Kemungkinan Pengembangan Sumber Hijauan Makanan Ternak Ruminansia. Buletin PPSKI No. 5 Th V, Bandung.

Soelistyono, H.S. 1976. Dasar-dasar Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. (Tidak Dipublikasikan)
.
Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan terhadap Pertumbuhan dalam Upaya Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sudjatmogo, Sumarsono dan Iswarti. 1988. Pengaruh Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrat dalam Ransum terhadap Produksi Kadar Lemak dan Berat Jenis Air Susu Sapi Perah Friesian Holstein. Proceeding Seminar Progam Penyediaan Pakan dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi . Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sukoharto. 1990. Pedoman untuk Perencanaan Ekonomi Pembangunan Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supardi. 1965. Apotik Hijau. Tumbuhan Obat –obatan PT Purnama Warana Surakarta
.
Suprayogi, A. 1993. Meningkatkan Produksi Susu Kambing melalui Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Agrotek, 1 (2) September 1993 : 61-62
.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak Diterbitkan).

Syarief, M.Z. dan R..M. Sumoprastowo. 1985. Ternak Perah. CV. Yasaguna, Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosekotjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Turner dan Bagnara. 1988. Endrokinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press, Surabaya. (Diterjemahkan oleh Harsojo).

Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Cetakan II. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yin , Chi Tsai. 1984. Effect of Dietary Fiber Level on Lactating Dairy Cows in the Philippines. State of The Art Abstract Bibliography of Dairy Resaearches. 4 : 17. (Abstr).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar