Selasa, 28 September 2010

Pengaruh Suplementasi Katu dalam ransum terhadap efisiensi dan produksi susu, konsumsi pakan, Volatile Free Acid (VFA), jumlah mikroba rumen, Triiodotironin (T3) dan denyut nadi.

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Sub Sektor Peternakan memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya susu, yang dari tahun ketahun permintaannya semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya susu dalam kehidupan.
Permintaan susu secara nasional baru dapat terpenuhi dengan produksi dalam negeri sebanyak 40% sedangkan 60% lainnya dipenuhi susu import. Ketidak mampuan dalam memenuhi permintaan susu dikarenakan produktivitas sapi perah Indonesia rata-rata masih rendah karena kualitas pakan, kualitas bibit dan tatalaksana pemeliharaan yang belum optimal.
Pembangunan Sub Sektor Peternakan khususnya sapi perah di Jawa Tengah terutama diusahakan oleh peternak kecil di pedesaan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, perbaikan gizi masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan menghemat devisa.
Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi yang menjadi pusat pengembangan sapi perah di Indonesia selain Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan populasi pada tahun 2002 sebanyak 119.026 ekor tersebar di 35 Kabupaten/Kota terutama pada jalur susu yaitu kabupaten Boyolali mempunyai populasi sapi perah tertinggi yaitu 63.848 ekor, kemudian disusul kabupaten Semarang sebanyak 27.692 ekor, kabupaten Klaten 7.899 ekor dan Kota Salatiga 6.769 ekor, sedangkan daerah Kabupaten/Kota lainnya rata-rata populasinya masih dibawah 3.000 ekor. Produksi air susu sapi perah di Jawa Tengah pada tahun 2002 adalah sebesar 80.063.770 liter, dengan rata-rata produksi antara 5,6 – 8 liter/ekor/hari dengan rata-rata calving interval 18 bulan.
Upaya pengembangan Sapi Perah di Jawa Tengah masih terdapat kendala yang memerlukan pemecahan dan tindak lanjut, kendala-kendala dimaksud antara lain : (a) Keterbatasan modal bagi para peternak rakyat sehingga tingkat pemilikan Sapi masih sangat rendah yaitu 2 – 3 ekor; (b) Rendahnya tingkat penyerapan inovasi teknologi bagi peternak khususnya bioteknologi yang berpengaruh terhadap keseluruhan system pemeliharaan sapi perah, sehingga penampilan potensi sapi perah belum bias secara optimal; (c) Pengelolaan usaha sapi perah masih sederhana dan belum memperhatikan factor kesehatan lingkungan sehingga produksi air susu yang dihasilkan belum memenuhi standart kualitas yang ditetapkan; (d) Peternak masih mengandalkan ketersediaan pakan secara alami, sehingga pada saat musim penghujan berlebihan dan pada saat kemarau kekurangan; serta (e) Harga jual air susu masih rendah, selain disebabkan oleh faktor kualitas diantaranya kadar lemak, berat jenis, maupun jumlah kandungan bakteri, juga disebabkan oleh tataniaga persusuan yang belum efisien karena panjangnya rantai pemasaran.
Dalam rangka peningkatan produktivitas sapi perah dipandang bahwa daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) sebagai pakan suplemen diharapkan dapat memberikan dampak positip untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu sapi perah.
Katu adalah suatu tanaman perdu yang mengandung beberapa zat kimia, salah satunya adalah asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha (androstan) yang berfungsi sebagai untuk pembentukan hormon estrogen yang berperan dalam pemanjangan sistem saluran, hormon progesteron yang berfungsi untuk meningkatkan (pembentukan) jumlah percabangan sistem saluran dan hormon laktogen palsenta berperan untuk meningkatkan jumlah sel epitel. Kandungan kimia lain katu adalah asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetad yang berperan dalam merangsang kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan VFA. Dengan meningkatnya VFA maka asam asetat, asam propionat dan asam butirat akan meningkat pula. Asam butirat dan asam asetat digunakan sebagai bahan sintesis susu dan asam propionat di hati akan dirubah menjadi glukosa , dan glukosa akan dirubah menjadi laktosa susu yang akan mengikat air di dalam susu, maka produksi susu juga akan meningkat. Meningkatnya VFA untuk mengimbangi kecepatan produksi susu maka diperlukan kecepatan pengangkutan bahan-bahan pembentuk susu tersebut, dengan meningkatnya pengangkutan berarti aliran darah juga meningkat, yang mengakibatkan denyut nadi meningkat.
Meningkat dan menurunnya kandungan triiodotironin (T3) tergantung pada perubahan kuantitas dan kualitas pakan, terutama kandungan protein karena T3 adalah kelompok hormon protein. Kalau protein pakan ditingkatkaan maka hormon-hormon protein dapat dipacu pembentukannya, salah satunya adalah hormon triiodotironin (T3), sehinggga dengan meningkatnya protein ransum maka diduga kandungan hormon triiodotironin dalam darah juga akan meningkat. Hormon triiodotironin memegang peranan penting dalam pengaturan metaboilisme di dalam tubuh dan merangsang laju sel-sel dalam tubuh untuk melakukan oksidasi terhadap bahan pakan, sehingga produksi susu juga akan meningkat, maka perlu dilihat kandungan hormon triiodotironin dalam darah. Dijelaskan Ganong (1980) bahwa triiodotironin merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu mengatur metabolisme tubuh dan diperlukann untuk pertumbuhan.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka dilakukan penelitian dengan judul : Tampilan Efisiensi dan Produksi Susu, Konsumsi Pakan, VFA, Mikroba Rumen dan Triiodotironin (T3) Akibat Suplementasi Sauropus androgynus (L.) Merr. (Katu) dalam Ransum Sapi Perah Fresian Holstein.

1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
Mengetahui Pengaruh Suplementasi Katu dalam ransum terhadap efisiensi dan produksi susu, konsumsi pakan, Volatile Free Acid (VFA), jumlah mikroba rumen, Triiodotironin (T3) dan denyut nadi.

1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat diharapkan dari hasil penelitian adalah :
Memperoleh informasi mengenai pemberian saplemen katu terhadap efisiensi dan produksi susu (BK, CP dan energi), konsumsi pakan ( BK, CP dan energi), VFA, jumlah mikroba rumen, triiodotironin (T3) dan denyut nadi.

1.4. Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dengan pemberian saplemen katu diduga dapat:
1. Meningkatkan konsumsi pakan (bahan kering dan protein kasar)
2. Meningkatkan efisiensi dan produksi susu.
3. Meningkatkan kinerja mikroba rumen
4. Meningkatkan produksi VFA
5. Meningkatkan hormon Triiodotironin (T3)
6. Meningkatkan denyut nadi.

1.5. Kerangka Pemikiran
Produksi susu pada ternak sapi perah dipengaruhi oleh 30% faktor genetik dan 70 % faktor lingkunan diantaranya kualitas dan kuantitas pakan. Sapi Perah akan menghasilkan produksi susu yang tinggi dan memberikan hasil yang sesuai dengan kemampuannya bila diberikan pakan yang cukup dan dalam imbangan yang tepat, dalam hal ini pakan harus mengandung zat-zat makanan yang sesuai untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Soeharsono, 1985). Pemberian pakan konsentrat dengan kualitas yang baik akan mempengaruhi kelenjar ambing untuk mensintesis susu (Anderson, 1985). Kapasitas kelenjar ambing untuk mensintesis susu tergantung kecukupan nutrisi pakan pada pertumbuhan kelenjar ambing selama masa laktasi (Sudjatmogo, 1998). Perkembangan kelenjar ambing secara karakteristik terdiri atas tiga tahap yaitu : 1) pertumbuhan ductus oleh estradiol; 2) pertumbuhan lobus alveolus oleh progesterone dan 3) permulaan dan pemeliharaan laktasi oleh kerja prolaktin (Turner dan Bagnara, 1976). Prolaktin berfungsi untuk mengaktifkan perkakas sintesis sel-sel sekretoris kelenjar ambing Percabangan dan pembentukan lobus alveola kelenjar ambing terjadi setelah proses pemanjangan saluran kelenjar ambing selesai serta dipengaruhi oleh kontrol progesterone dan laktogen placenta (Forsyth, 1986). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing akan menyebabkan aktivitas sintesis protein meningkat. Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan tumbuhan semak yang tingginya dapat mencapai 2-3 meter dan tumbuh di dataran rendah maupun tinggi serta mudah dibudidayakan dengan cara stek untuk perbanyakan tumbuhan katu tersebut (Supardi, 1965). Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan ASI (Anonym, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan, hipertensi, hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al., 1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah, peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kualitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997). Dikatakan lebih lanjut oleh Suprayogi (2000), bahwa katu dapat berperan dalam pemanjangan sistem saluran, meningkatkan jumlah percabangan dan meningkatkan jumlah sel epitel pada penggunaan pra laktasi. Sedangkan penggunaan pada masa laktasi katu ditengarai dapat meningkatkan kuantitas produksi susu, mengerem laju penurunan produksi susu, mengerem laju kerusakan ambing dan diduga pula dapat mengerem gejala subklinis mastits. Dikatakan lebih lanjut oleh Suprayogi (2000) bahwa katu mengandung unsur-unsur kimia : 1) asam oktodecanoad, 2) asam heptadecatrionad methyl ester, 3) octodecatrionad ethyl ester, 4) asam eicosatriona ester, 5) asam eicosynad. Penelitian pada sapi kelima asam-asam tersebut diduga berperan awal pada pembentukan prostaglandin, prostacyclin, thromboxane, lipoxine dan leukotrines. Disamping kelima asam-asam tersebut, katu juga mengandung unsur : 6) asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha, yang berperan sebagai stimulstor sintesis hormon steroid, dimana hormon ini bekerja dalam meningkatkan kinerja reproduksi, meningkatkan biosintesis susu dan untuk pertumbuhan. Serta mengandung unsur ketujuh yaitu asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetad yang berperan dalam merangsang kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan fermentasi rumen.

















BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Friesian Holstein (FH)
Karakteristik sapi perah menurut Anonim (1997), warna belang hitam putih pada dahi ada warna putih yang berbentuk segitiga, kaki bagian bawah dab ekor warna putih, tanduk pendek menjurus ke depan; adapun sifat dari sapi tersebut tenang, jinak dan mudah dikuasai (Muljana, 1985), tidak tahan di daerah yang panas dan dia lebih mudah menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, waktu dewasa tidak begitu cepat, berat badan yang jantan mencapai 800 kg sedang betina 625 kg; produksi susu dapat mencapai 4.500 – 5.500 liter per satu masa laktasi. Sapi tersebut berasal dari negeri belanda.
Fries Holland (FH) berasal dari Belanda, dikenal sebagai holstein sedangkan di Amerika dan Eropa dikenal dengan friesian. Warna putih belang hitam atau warna hitam putih ssampai warna hitam, ekor harus putih warna hitam tidak diperbolehkan di bawah persendian siku dan lutut. Badan dan ambing besar, kepala panjang sempit dan lurus, tanduk mengarah ke depan dan membengkok ke dalam. Dewasa umur 18 bulan, untuk anak pertama umur 28 – 30 bulan, berat badan betina 650 kg dan yang jantan 700 – 900 kg. Produksi susu mencapai 5982 liter per satu masa laktasi dengan kadar lemak 3,7% (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Menurut Blakely dan Bade (1994) perkembangan awal bangsa sapi perah Fresian Holstein (FH) bermula dari dua ekor yang dipelihara oleh suatu keluarga di Amerika dan merupakan bangsa sapi perah yang paling meninjol yakni sekitar 80 – 90% dari jumlah sapi yang ada.

2.2. Pakan
2.2.1. Hijauan
Hijauan adalah bahan pakan dalam bentuk daun-daunan yang kadang-kadang masih bercamour dengan batang, ranting serta bunga yang pada umumnya uang berasal dari tanaman sebangsa rumput dan kacang-kacangan (Lubis, 1960). Di daerah tropis pada umumnya suhu relatif panas sehingga kualita hijauan cenderung lebih rendah sehingga kurang tepat bila hijauan diberikan sebagai satu-satunya bahan pakan sapi perah laktasi, maka pemenuhan zat-zat gizi yang tidak tersedia di dalam pakan hijauan dipenuhi melalui pakan konsentrat (Sutardi, 1981). Siregar (1990) menyatakan bahwa banyaknya hijauan dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 2% bahan kering dari bobot badan.

2.2.2. Konsentrat
Menurut Schmidt dan Van Vleck (1974) pakan konsentrat berfungsi sebagai penambah energi, disamping mengandung protein tinggi dan kandungan serat kasarnya kurang dari 18% serta mudah dicerna (Prihadi, 1996). Kualitas konsentrat perlu diperhatikan dalam menyusun ransum sapi perah laktasi dan hal ini ditentukan oleh kandungan energi dan protein (Soelistyono, 1976). Siregar (1990) menyatakan bahwa pemberiann konsentrat yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kadar lemak susu sehingga perlu pengaturan pemberian pakan untuk mencapai produksi susu yang tinggi.
Dalam pemberian ransum pada sapi perah, berdasarkan bahan keringnya perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu pakan yang baik adalah 60 : 40% sehingga akan diperoleh koefisien cerna yang tinggi (Sudjatmogo et al., 1988) dan untuk pakan yang mutunya kurang baik imbangannya menjadi 55 : 45% dan bila mutu pakan sangat baik imbangannya menjadi 64 : 36% guna memberikan energi sebanyak mungkin (Siregar, 1992; Blakely dan Bde, 1994).

2.3. Konsumsi Pakan
Makanan sebagai sumber zat nutrisi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok dan produksi. Tingkat produksi susu yang disekresikan sebagian tergantung pada ketersediaan bahan bakunya di dalam darah dan aliran darah yang mengalir melalui kelenjar ambing (Scmidt, 1971; Larson, 1985; Anderson, 1985). Komponen yang paling penting harus cukup dalam rnasum adalah energi. Kekurangan energi yang berasal dari karbohidrat akan mengakibatkan perombakan zat organik lainnya menjadi energi sehingga keefisienannya akan berkurang. Kekurangan konsumsi energi maupun protein pakan pada ternak yang laktasi umumnya merupakan penyebab utama rendahnya produksi susu (Sutardi, 1981). Oleh karena itu pakan yang diberikan pada ternak selama bunting dan laktasi akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan nantinya. Laktasi mebutuhkan energi yang lebih banyak dibandingkan pada waktu bunting. Pada waktu puncak laktasi, kebutuhan energi untuk sintesis susu dapat mencapai 80% dari neto yang dikonsumsi, kebutuhan ini jauh melebihi kebutuhan pemeliharaan hewan dewasa. Untuk mencukupi aliran substrat ke kelenjar ambing dapat ditempuh dengan perbaikan kualitas pakan, sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu (Collier, 1985).
Pemberian ransum perlu memperhatikan imbangan antara konsentrat dan hijauan. Pemberian konsentrat sebelum hijauan dimungkinkan untuk memaksimalkan jumkjah mikrobia dan mengoptimalkan kerja mikrobia rumen, sehingga hijauan dapat tercerna lebih optimal (Blakely dan Bade, 1994).
Energi pada ternak ruminansia tidak bersumber pada glukosa tetapi pada asam lemak terbang yang diproduksi di dalam rumen. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia selalu rendah, tetapi kebutuhan glukosa meningkat tiga kali lipat pada saat laktasi. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia berkisar 40 – 80 mg/dl (Collier, 1985).
Kebutuhan bahan kering seekor sapi perah laktasi tergantung jenis ternak, ukuran tubuh dan keadaan fisiologis ternak (Sutardi, 1981). Dikatakan Syarief dan Sumoprastowo (1985), sapi perah dewasa membutuhkan 2 – 4% bahan kering dari bobot badannya.
Penentuan nilai energi dalam istilah umum adalah energi dapat dicerna (TDN) yang didefinisikan sebagai jumlah bahan organik yaitu protein, BETN, serat kasar dan lemak tercerna (Crampton et al., 1969). Sutardi (1981) menyatakan bahwa kekurngan energi bagi sapi perah yang sedang laktasi dapat menurunkan bobot badan dan produksi susu, bila terjadi defisiensi energi yang berkelanjutan dapat mengganggu proses reproduksinya. Sapi perah yang kelebihan energi akan disimpan sebagai lemak tubuh dan bila kekurangan energi lemak tubuh akan dirombak untuk memernuhi kebutuhan energi tersebut sehingga bobor badan akan menurun (Muljana, 1985).
Penyediaan protein di dalam ransum ternak sangat penting karena protein dalam tubuh berperan sebagai: (1) bahan pembangun tubh dan pengganti sel-sel yang sudah rusak; (2) mengatur lalu lintas zat-zat yang larut; (3) bahan pembuat hormon, enzim dan zat penangkal (Sutardi, 1981). Syarief dan Sumoprastowo (1985) menyatakan bahwa sapi perah laktasi membutuhkan protein kasar sebesar 9 – 12% dari berat pakan dalam bahan kering. Esminger (1991) menyatakan pula bahwa kebutuhan protein sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran dewasa, kondisi tubuh dan rasio energi-protein.

2.4. Mikroba Rumen dan VFA
Rumen dan retikulum merupakan wahana kehidupan mikroflora dan mikrofauna yang berfungsi dalam fermentasi pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Mikroba tersebut hidup dalam suasana anaerob dan sebagian dapat hidup dalam suasana fakultatif anaerob. Secara garis besar mikroba rumrn dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok besar, yaitu : bakteri, protozoa, jamur, bakteriophage (virus) dan amuba. Meskipun demikian peranan mereka di dalam proses fermentasi pakan baru diketahui secara pasti hanya tiga kelompok tersebut di atas yaitu : bakteri, protozoa dan jamur. Jumlah bakteri rumen sekitar (15 – 80) x 109 per gram isi rumen.
Proses fermentasi di dalam retikulo-rumen dilakukan oleh mikroba. Hasil utama fermentasi karbohidrat di dalam retikulo-rumen adalah asam lemak volatile (VFA = Volatyle Fatty Acid) terutama asam asetat (C2), asam propionat (C3) dan asam butirat (C4), disamping itu dihasilkan pula isobutirat, isovalerat, n-valerat dan laktat. VFA inilah merupakan sumber energi utama untuk kebutuhan tubuh ternak induk semang.
Kemampuan ternak ruminansia dalam mendegradasi suatu bahan pakan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : 1) faktor internal meliputi VFA yang dihasilkan, nilai pH rumen, konsentrasi NH3 dan laju partikel pakan; 2) Faktor eksternal meliputi ukuran porositas kain nilon, imbangan ukuran sampel yang diinkubasikan dengan permukaan kantong bnilon, perlakuan pakan sebelum inkubasi, kontaminasi mikroba rumen pada residu, letak kantong nilon dalam rumen, ransum percobaan, variasi antar ternak dan metode perhitungan degradasi teori (DT). Kecernaan suatu bahan pakan di dalam rumen dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1) in vivo, melalui pengukuran nutrien intake dan nutrien dalam feses; 2) in vitro, mengamati produksi NH3 dan VFA (Volatyle Fatty Acids); 3) in sacco (Hasanah et al., 2001).
Fermentasi dapat menyebabkan terjadinya depolimerasi substrat. Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral pada substrat pakan akan mengalami perubahan oleh aktivitas dan perkembangbiakan mikroba (Pederson, 1971 yang disitasi oleh Nuswantara et al., 2001). Menurut Winarno dan Fardiaz (1973) yang disitasi oleh Nuswantara et al., (2001), proses fermentasi pada substrat pakan akan menghasilkan nilai gizi yang lebih baik karena adanya aktivitas mikrobia yang katabolik dan menghasilkan enzim untuk merubah komponen pakan kompleks menjadi bentuk sederhana. Proses fermentasi suatu bahan pakan dapat diartikan sebagai proses biokimia yang menghasilkan energi, komponen organik bertindak sebagai penerima elektron (Suwaryono dan Ismeini, 1987 yang disitasi oleh Nuswantara et al., 2001).
Menurut Sutardi (1981), pemberian konsentrat dalam jumlah yang cukup tinggi dalam ransum sapi perah akan mengakibatkan imbangan asam asetat-propionat di dalam rumen rendah. Asam asetat dan butirat di dalam rumen merupakan prekursor asam lemak yang diharapkan menyeimbangkan energi yang dibutuhkan sapi perah untuk berproduksi (lemak tubuh dan lemak susu). Palatabilitas ternak pada ransum yang diberikan dapat meningkatkan sintesis protein mikroba sehingga berpengaruh terhadap koefisien cerna bahan kering dan bahan organik.

2.5. Katu (Sauropus androgynus Merr.)
Katuk adalah tumbuhan semak yang bisa mencapai tinggi 2 – 3 meter, tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dan sangat mudah dibudidayakan, yang dapat diperbanyak dengan cara stek (Supardi,1965).
Katu mengandung zat-zat aktif baik untuk memperlancar air ssusu ibu (asi) (Anonim, 2003). Daun katu mengandung protein, karbohidrat dan mineral yang sangat baik dan dibutuhkan untuk pertumbuhan
Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan ASI (Anonim, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Tabel 1. Komposisi Kimia Katu


Nutrien Djojosoebagio (1965) DEPKES RI (1972) NIN
(1978) Padmavathi (1990)

BK (g)
PK (g)
Lemak(g)
KH (g)
Pati (g)
SK (g)
Carotene (g)
Thiamin (mg)
Riboflavin(mg)
VIT. C (mg)
Ca (mg)
P (mg)
Energi (kal)
78,2
6,5
1,8
-
2,8
2,2
-

-
-
-
-
-
81,0
4,8
1,0
11,0
-
-
10020,0
0,1
-
239,0
204,0
83,0
59
73,6
6,8
3,2
-
-
1,4
5706,0
0,48
1,32
247,0
570,0
200,0
-
69,9
7,4
1,1
-
-
1,8
5600,0
0,5
0,21
244,0
771,0
543,0
-

Sumber : Suprayogi (2000)

Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan,hipertensi,hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al.,1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah, peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada Abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kwalitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997). Dikatakan lebih lanjut oleh Suprayogi (2000) bahwa katu mengandung unsur-unsur kimia : 1) asam oktodecanoad, 2) asam heptadecatrionad methyl ester, 3) octodecatrionad ethyl ester, 4) asam eicosatriona ester, 5) asam eicosynad. Penelitian pada sapi kelima asam-asam tersebut diduga berperan awal pada pembentukan prostaglandin, prostacyclin, thromboxane, lipoxine dan leukotrines. Disamping kelima asam-asam tersebut, katu juga mengandung unsur : 6) asam 17-ketosteroid androstan 17 one 3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha, yang berperan sebagai stimulstor sintesis hormon steroid, dimana hormon ini bekerja dalam meningkatkan kinerja reproduksi, meningkatkan biosintesis susu dan untuk pertumbuhan. Serta mengandung unsur ketujuh yaitu asam 3-4 dimethyl-2-oxocyclopenthyl-3-enylacetad yang berperan dalam merangsang kinerja mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan fermentasi rumen.

2.6. Produksi Susu
Sapi, setelah setelah beranak mulai memasuki masa laktasi yakni masa sapi diperah dan menghasilkan susu yang biasanya berlangsung selama 10 bulan atau 305 hari. Panjang pendeknya masa laktasi tergantung pada mutu ternak, frekuensi pemerahan, kesehatan ternak, kualitas dan kuantitas pakan (Syarief dan Sumoprastowo, 1985; Sudono, 1983).
Produksi susu pada awal laktasi agak rendah, kemudian meningkat dan mencapai puncak antara 4 – 8 minggu setelah beranak dan produksi susu berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Tillman et al., 1991). Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi berhubungan dengan persistensi. Sapi perah yang berproduksi tinggi, biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai puncak produksi apabila dibandingkan dengan sapi yang berproduksi rendah (Prihadi, 1996).
Adanya perbedaan tingginya puncak produksi susu yang dicapai disebabkan oleh faktor genetik, kondisi tubuh dan kualitas pakan (Tillman et al., 1991) sehingga untuk mempertahankan persistensi produksi susu selama laktasi tidak menurun secara drastis, maka kondisi tubuh dan pakan yang diberikan harus mendapat perhatian terutama dari segi kualitasnya.
Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi, kurang lebih sebesar 6% setiap 6 bulan. Pada umumnya sapi perah mencapai puncak laktasi pada umur 6 – 8 tahun atau pada laktasi ke-4 sampai ke-6 dan setelah itu produksi susu akan mengalami penurunan (Blakely dan Bade, 1994). Produksi susu maksimal untuk sapi perah FH di daerah asal dicapai pada laktasi ke-5, sedangkan untuk daerah tropik dapat lebih cepat, yaitu laktasi ke-3 (Sukoharto, 1990).
Interval pemerahan akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah susu yang dihasilkan dan akan menurunkan kadar lemak susu. Puncak produksi dalam suatu periode laktasi dicapai pada minggu ketiga sampai keenam, kemudian produksi susu akan berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Eckles et al., 1951) . Dikatakan oleh Sutardi (1981) bahwa produksi susu sapi FH dan keturunannya di Indonesia adalah 2,92 – 20,9 liter per ekor per hari.
Dikatakan Yin (1984) dalam penelitiannya bahwa peningkatan level serat kasar dari 13% menjadi 20% dalam ransum mengakibatkan turunnya produksi susu dari 8,13 kg menjadi 7,64 kg. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh level protein dari 13% menjadi 20% dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu sapi perah dari 26,5  0,4 kg menjadi 29,9  0,5 kg per hari pada periode laktasi 1 – 8 minggu (Barton et al.,1996). Penelitian tentang penggunaan tipe konsentrat sumber energi dalam ransum sapi perah dapat mempengaruhi komposisi dan produksi susu (Agus, 1997).

2.7. Komposisi Susu
Dikatakan Wikantadi (1978), komposisi air susu sapi FH adalah 3,5% KL; 3% protein; 4,9% laktosa; 0,7% abu dan 12,2% bahan total padat. Komposisi air susu tergantung pada bangsa sapi, umur sapi, tingkatan laktasi dan status gizi (Tillman et al., 1991); interval pemerahan, suhu lingkungan dan kuantitas ransum (Esminger, 1001). Hadiwiyono (1992) menyatakan bahwa komponen utama susu adalah air, lemak, bahan kering tanpa lemak yang tersusun ari protein, laktosa, mineral dan vitamin. Menurut Sudono (1985), komposisi air susu sapi perah terdiri atas air 87% dan total solid 13%. Total solid terdiri atas solid non fat 9,5% dan fat 3,5%, seangkan solid non fat terdiri atas protein 3,6%, laktosa 4,8%, dan sisanya vitamin dan mineral.
Peningkatan konsentrat dan pengurangan hijauan akan menurunkan kadar lemak susu, karena konsentrat mengandung asam propionat yang digunakan sebagai lemak tubuh (Chamberlain, 1989). Peningkatan protein dalam ransum diatas kebutuhan normal tidak akan meningkatkan produksi susu dan hanya sedikit meningkatkan protein dalam susu sehingga tidak efisien (Suryahadi, 1997). Hasil penelitian Yin (1984) menunjukkan bahwa pengaruh level serat kasar dari 13% ke 20% dalam ransum dapat meningkatkan kadar lemak susu dari 3,37% menjadi 3,78%.

2.8. Hormon Triidotironin (T3)
Pertumbuhan dan perkembangan hewan diatur oleh suatu kerja hormon. Hormon adalah zat kimia organik yang mempunyai efektivitas tinggi, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat sedikit dan dihasilkan oleh sel hidup yang sehat dari sebuah kelenjar endokrin (Djojosoebagio, 1990a).
Hormon tiroid (thyroid hormone) yang terdiri dari tiroksin dan triiodotironin dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroksin dan triodotironin disintesis di dalam folikel dan setelah disintesis hormon tersebut disimpan di dalam folikel yang menghasilkannya. Selanjutnya bilamana diperlukan baru disekresikan ke dalam pembuluh darah kapiler yang terhampar dan meliputi setiap folikel dan kelenjar tiroid (Djojosoebagio, 1990a). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hormon triiodotironin memegang peranan penting dalam pengaturan metaboilisme di dalam tubuh dan merangsang laju sel-sel dalam tubuh untuk melakukan oksidasi terhadap bahan pakan. Dijelaskan Ganong (1980) bahwa triiodotironin merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu mengatur metabolisme tubuh dan diperlukann untuk pertumbuhan.
Sitoplasma, mitokondria dan inti sel merupakan tempat ikatan atau reseptor dari triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Triiodotironin masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor-reseptor dalam inti dan menimbulkan sebagian besar pengaruh peningkatan sintesis mRNA dan RNA. Triiodotironin berikatan lebih luas dibanding tiroksin, dan ikatannya pada bagian nonhiston protein kromatin (Ganong, 1980). Dikatakan lebih lanjut oleh Djojosoebagio (1990a), bahwa pengaruh triiodotironin pada proses-proses metabolisme terjadi dengan jalan interaksi antara hormon dan reseptor pada inti sel yang mengakibatkan terjadinya peningkatan RNA tertentu. Hormon triiodotironin sebagian besar dibentuk di luar kelenjar tiroid (Frandson, 1986).
Di luar kelenjar tiroid, hormon triiodotironin dibebetuk di dalam ginjal dan hati dengan proses deiodisasi dari tiroksin. Di dalam sel tujuan hormon tiroksin yang masuk ke dalam sel akan mengalami deiodisasi menjadi triiodotironin (Ganong, 1999). Dijelaskan Djojosoebagio (1990a) lebih lanjut bahwa deiodisasi ini berlangsung di dalam membran plasma., sebaian kecil juga diperoleh dari cairan ekstraseluler yang terdapat di sekeliling sel tujuan tersebut.. terjadinya deiodisasi tiroksin yang masuk ke dalam sel, maka triiodotironin merupakan hormon tiroid yang terutama di dalam sel.
Hormon triiodotironin mempunyai fungsi meningkatkan konsumsi oksigen ke seluruh sel yang aktif melakukan metabolisme dan meningkatkan kecepatan absorbsi karbohidrat dari saluran pencernaan, sehingga konsentrasi glukosa darah sebagai sumber energi bagi ternak dapat meningkat (Ganong, 1980). Konsentrasi hormon triiodotironin kurang lebih 0,15 g/dl (2,3 nmol/L) dan konsentrasi hormon tiroksin kurang lebih 8 g/dl (103 nmol/L). Sekresi hormon triiodotironin dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi.
Pemberian pakan konsentrat yang rendah kualitasnya akan berdampak buruk terhadap fungsi kelenjar tubuh terutama tiroid. Hal ini akan berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas kelenjar tiroid, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi ternak. Kelenjar tiroid mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan pada titik optimal, hal ini disebabkan triiodotironin merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh (Ganong, 1980). Dijelaskan lebih lanjut bahwa fungsi tiroid diatur oleh thyroid stimulating hormon dari hipofisis anterior. Sekresi hormon sebagian diatur oleh umpan balik dari kadar tiroid yang tinggi dalam darah, yang akan menghambat secara langsung, dan sebagian melalui mekanisme syaraf yang bekerja terhadap hipotalamus. Intake pakan terutama diatur oleh mekanisme dalam hipotalamus yang mempengaruhi perubahan kadar penyerapan glukosa dalam sel tubuh. Konsentrasi glukosa, asam lemak dan asam amino dalam darah mempengaruhi kecepatan dan pola metabolisme dalam banyak jaringan (Meyes, 1980). Peningkatan maupun penurunan lkonsentrasi triiodotironin dalam darah tergantung pada pertumbuhan kualitas dan kuantitas pakan.
Penurunan kualitas dan kuantitas pakan dapat menurunnya konsentrasi triiodotironin dalam serum. Penurunan ini disebabkan karena konversi tiroksin ke triiodotironin proses deiodisasi diperedaran darah perifer menurun. Berkurangnya triiodotironin maka metabolisme juga akan menurun dan dengan jalan demikian energi maupun protein akan dapat lebih digunakan sebagai cadangan, artinya tidak banyak digunakan dalam proses metabolisme karan rendahnya triiodotironin (Djojosoebagio, 1990b).
















BAB III.
MATERI DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perusahaan peternaan sapi perah PT. RAHMAN ALA MAKMUR (RAM) Boyolali, yang akan dimulai pada bulan Juli sampai dengan September 2004.

3.2. Materi Penelitian
3.2.1. Ternak sapi

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi perah freisian holstein (FH) laktasi kedua bulan pertama, sebanyak 18 ekor dengan bobot badan berkisar antara 350 – 400 kg dengan kondisi sehat.

3.2.2. Peralatan

Peralatan yang digunakan meliputi :
1. Timbangan ternak
2. Timbangan pakan
3. Gelas ukur
4. Pita ukur
5. Laktodensimeter
6. Sentrifuge
7. Tabung reaksi
8. Alat pendingin / Refrigerator
9. Jarum suntik
10. Kantong plastik
11. Ember
12. Alkohol

3.2.3. Pakan untuk perlakuan

1. Pakan yang digunakan dalam penelitian yaitu rumput gajah, konsentrat yang dibuat sendiri dengan kandungan protein 9% dan 17%.
2. Katu yang sudah dibuat tepung
Komposisi bahan pakan yang digunakan adalah hijauan dari rumput gajah, onggok, bekatul, bungkil kelapa, bungkil biji kapuk, urea, mineral dan garam.

3.3. Metode Penelitian (Prosedur Penelitian)

3.3.1. Pemilihan sapi

Sapi perah awal sebanyak 36 ekor laktasi pertama dalam keadaan kering kandang (KK) bulan pertama (kehamilan bulan ke-8), menjelang tahun laktasi kedua , umur sama dan bobot badan 350 – 400 kg (CV < 20%). Selanjutnya dari 36 ekor tersebut pada kering kandang (KK) bulan kedua (kehamilan bulan ke-9) dipilih 18 ekor yang mempunyai rata-rata produksi susu 8 – 10 liter per hari (CV < 20%) sebagai materi penelitian.

3.3.2. Pelaksanaan penelitian

Sapi perah sebanyak 18 ekor secara acak dialokasikan ke dalam enam perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga sapi. Pengamatan pra laktasi dilakukan pada awal perlakuan dan akhir bulan (menjelang melahirkan), meliputi bobot badan denyut nadi, kandungan VFA, jumlah mikroba rumen. Pengamatan setelah partus (masa laktasi) meliputi seluruh variabel selama empqt kali pengamatan dengan interval pengamatan tujuh hari. Perlakuan-perlakuan yang diterapkan sebagai berikut :

A (K0CP1) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 9% + TDN 60%) + 0 Katu
B (K0CP2) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 17% + TDN 60%) + 0 Katu
C (K1CP1) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 9% + TDN 60%) + 100 g Katu
D (K1CP2) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 17% + TDN 60%) + 100 g Katu
E (K2CP1) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 9% + TDN 60%) + 150 g Katu
F (K2CP2) = Rumput Gajah (60%) + Konsentrat (CP 17% + TDN 60%) + 150 g Katu

Perlakuan diberikan mulai saat sapi perah mengalami kering kandang (KK) bulan kedua (kehamilan bulan ke-9) sampai ldengan aktasi bulan pertama.

3.3.3. Parameter yang diamati

1. Bobot badan induk (kg/ekor), penimbangan dilakukan pada awal sebelum perlakuan dan pengamatan selanjutnya dilakukan dengan selang waktu 7 hari.
2. Kualitas pakan yang meliputi bahan kering, protein kasar, TDN, Ca dan P, dan serat kasar. Pengukuran dilakukan dengan analisis proksimat di fakultas Teknologi Pertanian UGM.
3. Produksi susu (l/ekor/hari), pengukuran sampel dilakukan pada hasil pemerahan pagi dan sore hari selama satu bulan.
4. Berat jenis susu, pengukuran dilakukan setelah pemerahan pagi dan sore hari. Susu diambil 250 ml dimasukkan kedalam gelas ukur kemudian dimasukkan alat laktodensimeter.
5. Bahan kering susu, pengukuran dilakukan dengan cara pemansan menggunakan oven di laboratorium nutrisi UNDIP.
6. Efisiensi produksi, diukur dengan membandingkan produksi energi dalam air susu dengan kebutuhan energi pakan. Energi susu dianalisis dengan metode bom kalori meter.
7. Hormon triidotironin (nmol/ml), pengamatan sampel darah dilakukan lewat vena jugularis. Sampel darah diambil dari masing-masing perlakuan sebanyak 5 ml kemudian dimasukkan dalam tabung lalu disimpan dalam termos es kurang lebih 2 – 3 jam, selanjutnya disentrifuge untuk diambil serum darahnya. Sambil menunggu sampel berikutnya disimpan terlebih dahulu dalam refrigerator (-200C). setelah serum terkumpul baru dilakukan analisis dengan metode Radioimmunoassay (RIA) di laboratorium GAKI (Gamngguan Akibat Kekurangan Iodium) Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Pengambilan sampel dilakukan pada minggu ke 1, 2, 3, dan 4.
8. Jumlah mikroba rumen, dihitung per gram isi rumen.
9. VFA, khususnya asam asetat, asam butirat dan asam propionat. Dihitung gram per ml cairan rumen.
10. Denyut nadi.

3.4. Rancangan Percobaan dan Hipotesis Statistik
3.4.1. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini Rancangan Acak Lengkap – Faktorial (RAL – Faktorial), dengan dua faktor. Faktor pertama suplementasi katu tiga level (K0, K1 dan K2 , masing-masing dosis 0 g/ekor/haro, 100 g/ekor/hari dan 150 g/ekor/hari), kedua faktor protein dengan dua level (CP0 = 9% dan CP1 = 17%) , maing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali..
Semua parameter diamati untuk setiap individu sehingga analisis yang digunakan adalah analisis varians (Analisys of Varians) dan pengamatan dilakukan pada empat waktu berbeda yaitu pada minggu pertama (10 hari setelah perlakuan), minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat dengan selang waktu 7 hari.

Tabel 2. Lay out penelitian sebagai berikut :


Aras katu Aras protein
CP1 CP2

K0 Y111
Y112
Y113 Y121
Y122
Y123

K1 Y211
Y212
Y213 Y221
Y222
Y223

K2 Y211
Y312
Y313 Y321
Y322
Y323

Model linier untuk rancangan ini :
Yijk = µ + i + j + ()ij + ijk i = 1, 2, 3
j = 1, 2
k = 1, 2, 3
dimana :
Yijk = pengamatan respon katu ke-i dan kadar protein ke-j dan kelompok ke-k
µ = rerata populasi
i = respon perlakuan katu ke-i
j = respon perlakuan kadar protein ke-j
()ij= respon interaksi antara faktor katu ke-i dan faktor protein ke-j
ijk = galat akibat perlakuan katu ke-i perlakuan kadar proyein ke-j dan
ulangan ke-k

3.4.2. Hipotesis yang dapat diambil sebagai berikut:
1. H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
2. H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
Perhitungan selengkapnya menggunakan paket SAS 6.12 for Windows

3.5. Jadwal Kegiatan Penelitian

Tabel 3. Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan B u l a n
Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
1. Pembuatan proposal
2. Persiapan materi
3. Analisis proksimat pakan
4. Pemilihan sampel
5. Penelitian pendahuluan
6. Pelaksanaan penelitian
7. Analisis laboratorium
8. Pengumpulan data
9. Tabulasi, analisis data dan penulisan laporan ##
##
##
##
##

##






##
##
##
##
##









##
##
##






##
##
##
##








##



DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. 1997. Pengaruh Tipe Konsentrat sumber energi dalam Ransum Sapi Perah Berproduksi Tinggi terhadap Produksi dan Komposisi Susu. Buletin Peternakan. 21 (I : 45-54).

Anderson, R.R. 1985. Mammary Gland. In Lactation. Larson B.L. Ed. Iowa State University Press. Ames. Pp : 3-38.

Anonim. 2003. Lancar ASI. PT. Mecosin Indonesia.

Barton, B.A., H.A. Rosario, G.W. Anderson, B.P. Grindle dan D.J. Carroll. 1996.
Effect of Dietary Crude Protein, Breed, Parity and Health Status on The Fertility of Dairy Cows. J. Dairy Sci. 79 : 2225-2236.

Bender, A.E. dan K.S. Ismail. 1975. Nutritive Values and Toxicity of Malaysian Food, Sauropus albicans. Plant Foods Man, 1 : 139-143.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Soedarsono).

Chamberlain, A. 1989. Milk Production in the Topics. Longman Scientific and technical. Kuala lumpur.

Collier, R.J. 1985. Nutritional, Metabolic and Enviromental Aspects of L:actation in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University Press. Amess. pp : 80-128.

Crampton, E.W. dan H. Haris . 1969. Applied Animal Nutrition. 2nd Ed. W.E. Freeman and Company, San Fransisco.

Djojsoegagio, S. 1990a. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Vol. I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Djojsoegagio, S. 1990b. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Vol. II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Eckles, C.H., W.B. Comb., dan H. Macy. 1980. Milk anda Milk Product. TMH edt. Mc. Graw-Hill Pub. Co. Ltd. New Delhi.

Ensminger, M.E. 1991. Dairy Cattle Science. 3th Ed. Interstate Published Inc. Angelwood Cliffs, New Jersey.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada Univercity Press. Yogyakarta.

Forsyth, I.A. 1986. Varition among Species the Endokrine Control of Maamary Growth and Function. The Role of Prolactin, Growth Hormone and Plasental Laktogen. J. Dairy Sci. 46 : 1293-1298.

Ganong, W.F. 1980. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology), Edisi 9. Phusiology Chairmant of Physiology University of California School. Of Medicine San Fransisca, California. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di bawah pengawasan Prof. Sutarman Ahli Ilmu Faal.



GER, L.P., A.A. Chiang, R.S. Lai, S.M. Chien dan C.J. Tseng. 1997. Association of Sauropus androgynus and Bronchiolitis obliterans syndrome : A Hospital-based Case Control Study. American Journal of Epidemiology, 145 (9) : 842-849.

Hadiwiyoto. 1992. Uji Mutu Susu. Liberty, Yogyakarta. Larson, B.L. 1985. Biosynthesis and Selluler Secretion of Milk in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University / Ames. pp : 129-163.

Hasanah, H., S.P.S. Budhi dan M. Soejono. 2001. Degradasi Anti Nutrisi Kumarin pada Glirisida Pakan dalam Rumen Sapi Peranakan Ongole dan Kerbau. Jurnal Pengembangan Peternakan tropis. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Larson, B.L. 1985. Biosynthesis and Selluler Secretion of Milk in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University. Ames. pp : 129-163.
Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan.

Meyes, P.A. 1995. Bioenergitika dan Metabolisme Karbohidrat dan Lipit. In. R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayer, V.W. Rodwell ed. Biokimia Harper. Alih Bahasa. A. Hartono EGC. Jakarta.

Muljana, W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. Aneka Ilmu, Semarang.

Nuswantoro, L.K., E. Pangestu, M. Christiyanto, Surono dan A. Subrata. 2001. Pengaruh Fermentasi dengan Saccharomyces cereviceae terhadap Nilai Gisi Biji Sorghum. Jurnal Pengembangan Peternakan tropis. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Prihadi, S. 1996. Tata Laksana dan Produksi Ternak Perah. Fakultas Pertanian Universitas Wangsamanggala, Yogyakarta.

Santoso, S.O., M. Hasanah, S. Yuliani, A. Setiawati, Y. Mariana, T. Handoko, Risfaheri, anggraeni, A. Suprayogi, N. Kusumorini dan W. Winarno. 1997. Production of Medicine Product from Katuk’s leaves (Sauropous androgynus Merr) to increase the secretion and quality of Brest Milk. Integreted Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu II).

Scmidt, G.H. 1971. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.

Scmidt, G.H. dan L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco.

Siregar, S. 1990. Sapi Perah, Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharsono. 1985. Eksplorasi Kemungkinan Pengembangan Sumber Hijauan Makanan Ternak Ruminansia. Buletin PPSKI No. 5 Th V, Bandung.

Soelistyono, H.S. 1976. Dasar-dasar Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. (Tidak Dipublikasikan).

Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan terhadap Pertumbuhan dalam Upaya Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Desertasi Doktor).

Sudjatmogo, Sumarsono dan Iswarti. 1988. Pengaruh Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrat dalam Ransum terhadap Produksi Kadar Lemak dan Berat Jenis Air Susu Sapi Perah Friesian Holstein. Proceeding Seminar Progam Penyediaan Pakan dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi . Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sukoharto. 1990. Pedoman untuk Perencanaan Ekonomi Pembangunan Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supardi. 1965. Apotik Hijau. Tumbuhan obat-obatan. PT. Purnawarna. Surakarta.

Suprayogi, A. 2000. Studies on The Biological Effects of Sauropus androgynus (L.) Merr. : Effects on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Institut fur Tierphysiologie und Tierenahrung, Universitat Gotinge. Cuvllier Verlag Gotingen.

Suprayogi, A. 1993. Meningkatkan Produksi Susu Kambing melalui Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Agrotek, 1 (2) September 1993 : 61-62.

Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak Diterbitkan).

Syarief, M.Z. dan R..M. Sumoprastowo. 1985. Ternak Perah. CV. Yasaguna, Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosekotjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Turner dan Bagnara. 1988. Endrokinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press, Surabaya. (Diterjemahkan oleh Harsojo).

Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Cetakan II. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yin , Chi Tsai. 1984. Effect of Dietary Fiber Level on Lactating Dairy Cows in the Philippines. State of The Art Abstract Bibliography of Dairy Resaearches. 4 : 17. (Abstr).



Model linier untuk rancangan Faktorial - RAL :
Yijk = µ + i + j + ()ij + ijk i = 1, 2, 3
j = 1, 2
k = 1, 2, 3

dimana :
Yijk = pengamatan respon katu ke-i dan kadar protein ke-j dan kelompok ke-k
µ = rerata populasi
i = pengaruh perlakuan katu ke-i
j = pengaruh perlakuan kadar protein ke-j
()ij = pengaruh interaksi antara faktor katu ke-i dan faktor protein ke-j
ijk = galat akibat perlakuan katu ke-i perlakuan kadar proyein ke-j dan
ulangan ke-k

Model linier Faktorian Time in Split :
Yijk = µ + Kj + i + ik + j + ()ij + ijk
dimana :
Yijk = pengamatan respon katu ke-i dan kadar protein ke-j dan kelompok ke-k
µ = rerata populasi
Kj = pengaruh kelompok pengamatan ke-j
i = pengaruh perlakuan katu ke-i
ik = pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i faktor katu pada kelompok
ke-k (galat petak utama)
j = pengaruh perlakuan kadar protein ke-j
()ij = pengaruh interaksi antara faktor katu ke-i dan faktor protein ke-j
ijk = galat akibat perlakuan katu ke-i perlakuan kadar proyein ke-j dan
kelompok ke-k

Tidak ada komentar:

Posting Komentar