Selasa, 28 September 2010

Konsumsi Serat Kasar Pakan dan Kandungan Lemak Susu Sapi Perah Friesian Holstein Akibat Pemberian Sauropus androgynus (L.) Merr (Katu) yang Berbeda (Crude Fiber Intake and Milk Fat Content of Friesian Holstein Dairy Cow affected by Different Administrations of Sauropus androgynus (L.) Merr).

RINGKASAN

Konsumsi Serat Kasar Pakan dan Kandungan Lemak Susu Sapi Perah Friesian Holstein Akibat Pemberian Sauropus androgynus (L.) Merr (Katu) yang Berbeda (Crude Fiber Intake and Milk Fat Content of Friesian Holstein Dairy Cow affected by Different Administrations of Sauropus androgynus (L.) Merr).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian katu kaitannya dengan konsumsi pakan terutama serat kasar dan kualitas susu terutama lemak susu sapi perah Friesian Holstein. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemberian katu terhadap konsumsi pakan dan kualitas susu sapi Friesian Holstein. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus sampai dengan 6 Oktober 2004 di CV Argasari, Desa Tegalrejo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Materi penelitian yang digunakan adalah 9 ekor sapi perah Friesian Holstein laktasi kedua, bulan laktasi keenam dengan bobot badan (BB) 436 + 50,67 kg (CV = 13,02%), produksi susu 8,86 + 1,20 liter (CV = 14,58%), tepung katu dan pakan sapi berupa konsentrat (PK = 13,27%) dan jerami jagung. Imbangan hijauan dengan konsentrat adalah 40 : 60%. Peralatan yang digunakan yaitu: timbangan ternak digital merek Iconik, timbangan pakan digital merek Accura, timbangan pakan sentisimal merek SSS, takaran susu merek Scarlet dan kantong plastik untuk sampel susu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut:
T0 = Jerami jagung + konsentrat
T1 = Jerami jagung + konsentrat + tepung katu (0,03% BB)
T2 = Jerami jagung + konsentrat + tepung katu (0,05% BB)
Parameter yang diamati meliputi konsumsi BK, SK, produksi susu, dan kadar lemak susu. Data yang diperoleh dihitung dengan analisis varian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi BK pakan T0, T1 dan T2 berturut-turut adalah 10,22; 10,70 dan 11,63 kg/ekor/hari (P>0,05). Rata-rata konsumsi SK pakan T0, T1 dan T2 berturut-turut adalah 2,29; 2,38 dan 2,59 kg/ekor/hari (P>0,05). Rata-rata produksi susu T0, T1 dan T2 adalah 7,36; 8,85 dan 9,43 liter/ekor/hari (P>0,05). Rata-rata kandungan lemak susu T0, T1 dan T2 adalah 0,208; 0,220; 0,262 kg/ekor/hari (P>0,05).

Kesimpulan dari penelitan ini adalah pemberian tepung katu tidak meningkatkan konsumsi serat kasar pakan dan kandungan lemak susu. Taraf pemberian tepung katu yang efektif masih memerlukan penelitian lebih lanjut.


Kata kunci : konsumsi serat kasar, sapi FH, lemak susu, katu

Deposisi protein pada sapi PO dan sapi FH yang mendapat pakan ampas tahu, singkong dan rumput gajah

BAB I
PENDAHULUAN

Usaha penggemukan sapi potong banyak menggunakan bakalan sapi Peranakan Ongole (PO), namun dalam perkembangannya sekarang ini sapi Peranakan Fresian Holstein (PFH) jantan juga dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Sapi PO merupakan sapi tropis, sedangkan sapi PFH merupakan sapi subtropis. Kedua sapi ini memiliki perbedaan karakteristik karena kedua sapi ini berasal dari bangsa yang berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut misalnya kemampuan memanfaatkan pakan, pertumbuhan, warna bulu dan ukuran tubuh.
Bangsa sapi yang berbeda juga akan mempengaruhi kemampuan sapi dalam mendeposisikan protein pakan. Deposisi protein pakan mempengaruhi produktivitas sapi, jika protein banyak yang terdeposisi dalam tubuh maka produktivitas sapi akan baik. Sekarang ini belum diketahui secara pasti kemampuan sapi PO dan sapi PFH dalam mendeposisikan protein pakan. Khususnya protein pakan dari rumput gajah, ampas tahu dan singkong.
Rumput gajah, ampas tahu dan singkong merupakan pakan lokal yang banyak digunakan oleh peternak karena ketersediaannya cukup banyak, murah harganya dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Ampas tahu merupakan limbah industri pembuatan tahu yang memiliki kandungan protein cukup tinggi yaitu 23,7% (Siregar,2003). Pakan yang diberikan selain tercukupi kebutuhan protein juga dibutuhkan sumber energi, salah satunya berasal dari singkong. Singkong memiliki kandungan energi sebesar 81,8% (Siregar, 2003). Selain konsentarat sapi juga memerlukan pakan kasar yang dapat dipenuhi dari rumput gajah. Rumput gajah memiliki kandungan bahan kering (BK) 21%, protein kasar (PK ) 9,6%, lemak kasar (LK) 1,9%, “total digestible nutrient” (TDN) 52,4 % (Siregar, 2003).
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui deposisi protein pada sapi PO dan PFH yang mendapatkan pakan ampas tahu, singkong dan rumput gajah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan sapi PO dan sapi PFH dalam memanfaatkan protein pakan dan produktivitas sapi PO dan sapi PFH yang digemukkan dengan pakan rumput gajah, ampas tahu dan singkong.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO)

Sapi PO merupakan persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Ongole, sapi ini termasuk sapi dwiguna, yaitu sebagai tipe pekerja dan tipe pedaging (Sosroamidjojo, 1984; BPTP Jawa Tengah, 1996). Menurut Williamson dan Payne, (1993) sapi PO banyak dipelihara di Indonesia dan sekarang sudah dianggap sebagai sapi lokal.
Sapi PO mempunyai ciri-ciri berwarna dominan putih dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir dibawah leher dan berpunuk (Abidin, 2002). Menurut Arianto dan Sarwono, (2001) ciri-ciri sapi PO adalah berbadan besar, berpunuk besar, bergelambir longgar, berleher pendek, dengan kepala, leher, gelambir dan lutut berwarn hitam. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi ini memiliki persentase karkas 45-58%. Menurut Setiadi (2001), bobot badan sapi PO jantan dapat mencapai 600 kg, sedangkan yang betina 400 kg. Sapi PO tahan terhadap panas dan mempunyai pertambahan bobot badan sebesar 0,5 kg/hari dengan pakan yang baik (Williamson dan Payne, 1993). Menurut Nurschati yang disitasi oleh Pramono et al. (2004) pertambahan bobot badan harian sapi PO dapat mencapai 0,70-0,77 kg/ekor/hari dengan pemberian pakan berupa konsentrat yang tersusun dari singkong, konsentrat pabrik dan dedak padi. Hasil penelitian Pramono et al. (2004) menunjukkan bahwa dengan pakan berupa rumput lapangan dan konsentrat sebesar 1,5% dari bobot badan, pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi PO dapat mencapai 0,69 kg.
2.2. Sapi Peranakan Friesian Holstein

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi Friesian Holstein, dengan ciri tidak berpunuk, warna belang hitam putih dan pada bagian dahi terdapat segitiga berwarna putih (Abidin, 2002). Sapi (PFH) jantan yang tidak digunakan sebagai pejantan (pemacek) sering digunakan sebagai bakalan untuk penggemukan (BPTP Jawa Tengah, 1996).
Pertambahan bobot badan harian pedet PFH dapat mencapai rataan 0,625 kg dan setelah berumur satu tahun pertambahan bobot badan hariannya dapat mencapai 1,0 kg (BPTP Jawa Tengah, 1996). Menurut Abidin (2002), pertambahan bobot badan harian sapi PFH jantan dapat mencapai 1,1 kg. Sapi PFH yang diberi pakan berupa singkong, konsentrat pabrik dan dedak padi memberikan pertambahan bobot badan paling tinggi dibandingkan sapi Peranakan Simmental dan Peranakan Limousin, masing-masing 1,32; 1,18 dan 0,90 kg/ekor/hari (Pramono et al., 2004).

2.3. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan bobot dan perubahan ukuran jaringan-jaringan tubuh seperti daging, tulang dan komposisi tubuh (Anggorodi, 1994). Menurut Soeparno (1998) pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein dan abu. Pertumbuhan terjadi dengan penambahan jumlah sel atau yang biasa disebut dengan hiperplasia dan penambahan ukuran sel atau disebut hipertropia (Anggorodi,1994)
Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan, yaitu dengan penimbangan berulang-ulang dan dibuat dalam pertambahan bobot badan harian, mingguan atau per satuan waktu lain (Tillman et al., 1991). Menurut Soeparno (1998) pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot badan per satuan waktu tertentu yang dinyatakan sebagai rata-rata pertambahan bobot badan per hari.
Soeparno (1998) menyatakan bahwa kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid. Laju pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun atau melambat dan berhenti setelah mencapai kedewasaan. Kurva pertumbuhan ternak dapat dilihat pada Ilustrasi 1.

Dewasa

Umur Pubertas




Penyapihan

Pembuahan Kelahiran

Waktu

Ilustrasi 1. Kurva Pertumbuhan (Soeparno, 1998)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhaan suatu individu antara lain mutu pakan, faktor lingkungan dan faktor genetik (Anggorodi, 1994). Pakan merupakan faktor yang mempunyai pengaruh sangat penting terhadap laju pertumbuhan, apabila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah cukup, maka pertumbuhan ternak akan terjadi secara cepat, demikian pula sebaliknya (Tillman et al., 1991). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan meliputi temperatur udara dan penyakit (Williamson dan Payne, 1993). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhaan ternak akan berlangsung normal pada kondisi temperatur yang optimumMenurut Tillman et al., (1991) sapi yang secara genetik memiliki tubuh besar akan memiliki pertambahan bobot badan yang lebih cepat dibandingkan dengan sapi yang kecil.
2.4. Pakan
Menurut Lubis (1992), pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh ternak, yang dapat dicerna seluruhnya atau sebagian dan tidak mengganggu kesehatan ternak tersebut. Pakan yang biasanya diberikan pada sapi umumnya berupa pakan kasar dan konsentrat (Arianto dan Sarwono, 2002). Menurut Santosa (1995) pakan yang diberikan pada sapi harus diusahakan mengandung zat-zat pakan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan untuk reproduksi.

2.4.1. Rumput Gajah

Rumput gajah merupakan rumput potongan yang tumbuh tegak membentuk rumpun, berumur panjang dan tingginya dapat mencapai 2 meter, produksinya dapat mencapai 150-200 ton/ha/th dengan jarak pemotongan 6-8 minggu (Setiadi, 2001). Menurut Lubis (1992), rumput ini dapat tumbuh dengan baik di daerah pegunungan. Rumput gajah yang masih segar memiliki kandungan bahan kering (BK) 21%, protein kasar (PK ) 9,6%, lemak kasar (LK) 1,9%, dan “total digestible nutrient” (TDN) 52,4 % (Siregar, 2003).

2.4.2. Konsentrat

Konsentrat adalah pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18%, mempunyai sifat mudah dicerna dan merupakan sumber energi atau sumber protein bagi ternak, konsentrat sumber protein mempunyai kadar protein lebih dari 18%, sedangkan konsentrat sumber energi mengandung protein kurang dari 18% dan mengandung TDN 65-70%. (Tillman et al., 1991; BPTP Jawa Tengah, 1996). Bahan pakan penyusun konsentrat sebaiknya terdiri dari bermacam-macam bahan, hal ini untuk menciptakan efek suplementasi, yaitu saling melengkapi zat pakan yang ada pada masing-masing bahan, sehingga efisiensi konsentrat menjadi tinggi (Parakkasi, 1999). Menurut Sugeng (2003), konsentrat dapat tersusun dari biji-bijian seperti jagung, menir, bulgur, dan hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak padi, bekatul, bungkil kelapa dan berbagai umbi.
Ampas tahu merupakan sisa atau hasil ikutan dari pabrik tahu yang masih dapat digunakan sebagai pakan ternak (Lubis, 1992). Menurut Siregar (2003), ampas tahu mengandung BK 26,2%, PK 23,7%, LK 10,1%, dan TDN 79%. Dijelaskan oleh Lubis (1992), bahwa ampas tahu yang sudah dikeringkan masih mengandung kira-kira 16% air, dengan kadar protein dapat dicerna 22,3%.
Ubi kayu merupakan tanaman tegalan, tetapi dapat menjadi tanaman pergiliran yang berguna di dataran rendah tropika yang diusahakan untuk umbinya (Peregrine et al., 1993). Menurut Lubis (1992), ubi kayu baik digunakan sebagai pakan ternak karena memiliki hidrat arang yang tinggi daya cernanya. pakan yang Ubi kayu memiliki kandungan BK 32,3%, PK 3,3%, LK 3,3%, dan TDN 81,8%.

2.5. Kebutuhan Zat Pakan


Pakan yang diberikan pada sapi yang dipelihara secara feedlot sebagian besar berupa konsentrat, sedikit hijauan dan feed additives. Biasanya perbandingan konsentrat dan hijauan yang diberikan adalah 70:30 (Department of Primary Industries Queensland, 1991). Kebutuhan gizi sapi tergantung beberapa faktor, yaitu umur, bobot badan, pertambahan bobot badan dan tujuan pemeliharaan (Siregar, 2003). Zat-zat pakan yang dibutuhkan ternak sapi adalah air, energi, protein, mineral dan vitamin (Blakely daan Bade, 1998). Zat pakan tersebut digunakan untuk mempertahankan hidup, aktivitas tubuh, menjaga kesehatan, hidup pokok daan produksi (Sugeng, 2003). Dijelaskan oleh Siregar (2003) bahwa, semakin tinggi bobot badan dan pertambahan bobot badan semakin banyak pula gizi yang dibutuhkan. Kebutuhan pakan berdasarkan bobot badan dan asumsi pertambahan bobot badan pada sapi dapat dilihat pada Tabel 1.
Sapi yang masih sangat muda mempunyai keterbatasan dalam mengkonsumsi bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Siregar, 2003). Menurut Lubis (1992) jumlah bahan kering yang dibutuhkan oleh ternak adalah sekitar 2-4% dari bobot badan, bahan kering tersebut berfungsi sebagai pengisi lambung dan perangsang dinding saluran pencernaan untuk menggiatkan pembentukan enzim.
Tabel 1. Kebutuhan Zat-Zat Pakan Sapi Jantan untuk Pertumbuhan dan
Penggemukan (Kearl, 1982).

BB PBBH Kebutuhan BK Kebutuhan Zat Pakan
TDN PK
kg % BB kg
200 0,50 5,20 2,60 2,80 0,554
0,75 5,40 2,70 3,20 0,622
1,00 5,60 2,80 3,70 0,690

250 0,50 6,20 2,50 3,20 0,623
0,75 6,40 2,60 3,80 0,693
1,00 6,60 2,60 4,30 0,760

300 0,50 7,00 2,30 3,70 0,679
0,75 7,40 2,50 4,30 0,753
1,00 7,50 2,50 5,00 0,819
Keterangan : BB = Bobot Badan, PBBH = Pertambahan Bobot Badan, BK = Bahan Kering, TDN = Total Digestible Nutrient, PK = Protein Kasar

2.6. Metabolisme Protein

Protein merupakan zat organik yang mempunyai unsur nitrogen, oksigen, karbon, hidrogen, sulfur dan fosfor (Anggorodi, 1994). Protein kasar dari pakan dapat berupa protein murni dan nitrogen non protein (Soebarinoto et al., 1991). Menurut Frandson (1993) protein pakan pada ruminansia dapat mengalami 3 kemungkinan, yaitu : pertama, protein pakan digunakan oleh mikrobia rumen, kedua protein mengalami “recyling” sebagai urea (NH3) dan asam amino, dan ketiga protein melewati rumen tanpa perubahan (protein “bypass”).
Menurut Prawirokusumo (1994), protein pakan yang dikonsumsi sebagian akan didegradasi oleh mikroba rumen dan sebagian ada yang langsung masuk ke dalam abomasum dan usus halus. Protein dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi peptida oleh enzim proteolisis yang dihasilkan oleh mikroba (Soebarinoto et al., 1991). Alur metabolisme protein pada ruminansia dapat dilihat pada Ilustrasi 2.
Peptida sebagian digunakan untuk membentuk protein tubuh mikroba dan sebagian lagi dihidrolisis menjadi asam-asam amino (Soebarinoto et al., 1991). Menurut Arora (1995), hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia. Amonia yang terbentuk di dalam rumen sebagian besar akan digunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuh dan sebagian lainnya dibawa ke hati dan diubah menjadi urea (Soebarinoto et al., 1991). Urea sebagian besar akan keluar melalui ginjal dan dikeluarkan bersama urin, sebagian akan masuk kembali dalam rumen melalui saluran darah atau lewat
saliva (Arora, 1995).
Protein pakan yang lolos dari degradasi akan langsung masuk ke dalam saluran pencernaan dibawahnya, yaitu abomasum dan usus halus yang selanjutnya dapat diserap sebagai asam amino yang dapat dipergunakan untuk proses produksi (Prawirokusumo, 1994). Protein dalam tubuh ternak akan disimpan dalam daging, organ internal dan jaringan bawah kulit (Anggorodi, 1994). Lebih lanjut dijelaskan bahwa protein dalam tubuh ternak berfungsi untuk memperbaiki jaringan tubuh dan pertumbuhan jaringan baru.







































2.7. Deposisi Protein
Deposisi protein adalah banyaknya protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh yang dihitung dari jumlah protein yang dikonsumsi dikurangi dengan protein feses dan protein urin (Ranjhan, 1977). Deposisi protein dihitung dengan pengurangan dari jumlah protein yang dikonsumsi dikurangi dengan protein feses dan protein urin (Boorman, 1980). Faktor-faktor yang mempengaruhi deposisi protein adalah jenis kelamin, tingkat protein serta kualitas pakan yang diberikan pada ternak dan genetik (Orskov, 1992).
Protein atau asam amino di dalam tubuh akan diserap dan digunakan untuk proses metabolisme tubuh, sedangkan yang tidak dipakai akan dibuang lewat urin dan feses (Frandson, 1993). Menurut Anggorodi (1994) ternak akan membuat jaringan tubuhnya dari asam-asam amino yang merupakan hasil pencernaan dari protein pakan. Fungsi protein bagi ternak adalah untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi (Prawirokusumo,1994). Menurut Arianto dan Sarwono (2003), protein bagi sapi berfungsi untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak, membentuk sel-sel tubuh yang baru, dan sumber energi.
Kualitas protein merupakan faktor penting yang menentukan efisiensi deposisi protein tubuh. Deposisi protein pada gilirannya akan menentukan produksi dan pertumbuhan ternak, semakin tinggi deposisi protein maka pertumbuhan akan semakin baik (Boorman, 1980). Menurut Maynard dan Loosli (1969), deposisi protein yang bernilai positif akan menyebabkan terjadinya kenaikan bobot badan karena adanya pertambahan jaringan daging, sedangkan deposisi protein yang bernilai negatif akan menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan karena adanya pembongkaran protein untuk mencukupi kebutuhan hidup, dan deposisi protein nol beararti jumlah protein yang masuk sama dengan yang dikeluarkan tubuh.





















BAB III

METODOLOGI

Penelitian tentang deposisi protein pada sapi PO dan sapi FH yang mendapat pakan ampas tahu, singkong dan rumput gajah, dilakukan bulan September 2004 sampai Januari 2005, di kandang Laboratorium Ilmu Ternak Potong dan Kerja Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi dan Peralatan

Penelitian deposisi protein menggunakan empat ekor sapi PO jantan dengan bobot badan rata-rata 195,911,38 kg (CV=5,18%) dan empat ekor sapi PFH jantan dengan bobot badan rata-rata 198,643,14 kg (CV=1,58%). Kandang yang digunakan bertipe “tail to tail” dengan kapasitas 10 ekor, dilengkapi dengan palung pakan, palung minum dan gudang pakan.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan kandang yang meliputi ember, sikat, selang air, sapu lidi dan sekop, timbangan merek “Sima” kapasitas 2000 kg, ketelitian 1 kg untuk menimbang ternak, timbangan merek “Five Goats” kapasitas 5 kg dan ketelitian 20 gram untuk menimbang bahan pakan. Peralatan yang mendukung pengambilan data deposisi protein berupa harness sebagai alat penampung feses dan urin, jerigen, botol plastik, dan pH indikator.
Pakan yang diberikan terdiri atas hay rumput gajah, ampas tahu dan ubi kayu. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Bahan Pakan Penelitian
Bahan Pakan BK PK Abu LK BETN SK
%

Hay Rumput Gajah 84,88 13,04 15,14 2,13 27,93 36,79
Ampas Tahu 13,63 18,27 2,86 6,53 48,50 23,84
Ubi Kayu 35,82 2,49 1,55 0,39 90,94 4,63

Keterangan : BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, SK= Serat Kasar

3.2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah metode “Independent Sample Comparison” (Steel dan Torrie, 1984), yaitu suatu metode yang dapat digunakan untuk membandingkan 2 kelompok ternak dengan bangsa yang berbeda. Penelitian ini membandingkan 2 kelompok sapi dengan genetik yang berbeda, yaitu sapi PO 4 ekor dan sapi PFH 4 ekor.

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam empat periode, yaitu periode persiapan (3 minggu), periode adaptasi (3 minggu), periode pendahuluan (2 minggu) dan periode perlakuan (12 minggu). Periode persiapan dilakukan dengan mempersiapkan kandang, mempersiapkan bahan pakan yang digunakan dan mempersiapkan peralatan yang akan digunakan.
Pada periode adaptasi, ternak diberi bahan pakan yang akan digunakan saat penelitian untuk membiasakan ternak dalam mengkonsumsi bahan pakan dan untuk mengetahui kemampuan ternak dalam mengkonsumsi bahan kering pakan. Pada periode pendahuluan ternak percobaan diberi pakan sesuai dengan perlakuan, hal ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya.
Pada awal periode perlakuan dilakukan penimbangan bobot badan ternak untuk mengetahui bobot badan awal sapi, penimbangan dilakukan satu minggu sekali pada pagi hari sebelum diberi pakan. Pakan diberikan berdasarkan kebutuhan bahan kering (BK) yaitu sebanyak 3% bobot badan. Pakan yang diberikan berupa rumput gajah (30% dari kebutuhan bahan kering) dan konsentrat diberikan 70%, terdiri dari ampas tahu dan singkong. Rumput gajah sebelum diberikan dikering-udarakan terlebih dahulu dengan cara diikat dan digantungkan padaa para-para. Konsentrat diberikan 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB dan 17.00 WIB, sedangkan rumput Gajah diberikan 2 jam setelah pemberian konsentrat. Air minum diberikan secara ad libitum. Pakan konsentrat diberikan dalam bentuk campuran antara ampas tahu dan singkong. Singkong diberikan dalam potongan-potongan kecil yang sudah dicuci terlebih dahulu, baru dicampur dengan ampas tahu.
Pengumpulan feses dan urin dilakukan pada minggu ke 4 dari periode perlakuan, selama 5 hari berturut-turut. Sampel urin diambil secara proposional setiap hari dengan penentuan nilai proporsinya didapat dari pengambilan sampel hari pertama. Urin yang diambil sebanyak 1 kg dari total urin pada hari pertama. Pengambilan urin pada hari berikutnya disesuaikan proporsinya dengan pengambilan pada hari pertama. Hasil total koleksi urin selama 5 hari dicampur hingga homogen, kemudian diambil sample untuk dianalisis. Sampel feses diambil 1 kg. Pengambilan sampel feses pada hari berikutnya disesuaikan proporsinya dengan pengambilan pada hari pertama. Sampel yang diambil selama 5 hari kemudian dikeringkan, setelah kering ditumbuk dan dicampur sampai homogen, lalu diambil sub sampel untuk dianalisis.

3.4. Parameter Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian adalah konsumsi bahan kering (BK) pakan, pertambahan bobot badan, jumlah protein kasar (PK) yang dikonsumsi, jumlah PK yang terkandung dalam feses, jumlah PK yang terkandung dalam urin, dan deposisi protein. Pakan yang dikonsumsi diukur dengan menghitung selisih antara pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa. Cara menghitung parameter penelitian adalah sebagai berikut :
Konsumsi protein = (konsumsi BK rumput gajah x % protein rumput gajah) + (konsumsi BK ampas tahu x % protein ampas tahu) + (konsumsi BK singkong x % protein singkong)
Protein dalam feses = jumlah BK feses x % protein feses
Protein dalam urine = jumlah BK Urine x % protein Urine
Konsumsi protein tercerna = konsumsi protein – protein feses – protein urine
Kecernaan protein = kons. protein – protein feses / kons. protein x 100%
Deposisi protein = jumlah protein yang terkonsumsi – (protein feses + protein
urine)
Retensi Protein = (kons. protein – protein feses – protein urine) / kons. Protein x
100%

3.5. Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji – t (t-test). Data dari hasil penelitian akan diuji dengan t-test (Sugiyono, 2002).
t hitung =
Keterangan :
= Nilai rata-rata sampel 1
= Nilai rata-rata sampel 2
s1 = Nilai varian sampel 1
s2 = Nilai varian sampel 2
n1 = Jumlah individu sampel 1
n2 = Jumlah individu sampel 2
Hipotesis penelitian untuk seluruh pengamatan adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan deposisi protein antara sapi PO dan PFH.
H1 : Terdapat perbedaan deposisi protein antara sapi PO dan PFH.

Kriteria Pengujian
H0 diterima jika t hitung < t table 0,05 H1 ditolak jika t hitung > t table 0
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Konsumsi dan Kecernaan Pakan

Hasil rata-rata konsumsi bahan kering (BK) rumput Gajah, BK ampas tahu, BK singkong, BK tercerna dan kecernaan BK dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Perhitungan statistik dari data-data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1-6.
Tabel 3. Rata-rata Konsumsi BK total, Konsumsi BK rumput Gajah, Konsumsi BK Ampas Tahu, Konsumsi BK singkong, Konsumsi BK Tercerna dan Kecernaan BK.


Parameter Bangsa Sapi Perbedaan
PO PFH
Konsumsi BK total (g/hari) 5.005 5.300 tn
Konsumsi BK rumput Gajah (g/hari) 1.208 1.055 tn
Konsumsi BK ampas tahu (g/hari) 1.858 2.088 tn
Konsumsi BK singkong (g/hari)
Konsumsi BK tercerna (g/hari)
Kecernaan BK (%) 1.940
3.647
72,99 2.158
3.823
72,20 tn
tn
tn
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)


Konsumsi BK total antara sapi PO dan PFH relatif sama (Tabel 3), masing-masing sebesar 5.005 g/hari dan 5.300 g/hari, konsumsi BK rumput Gajah pada sapi PO sebesar 1.208 g/hari dan pada sapi PFH sebesar 1.055 g/hari. Konsumsi BK ampas tahu pada sapi PO sebanyak 1.858 g/hari dan pada sapi PFH 2.088 g/hari, sedangkan konsumsi BK singkong pada sapi PO sebanyak 1.940 g/hari dan pada sapi PFH sebanyak 2.157 g/hari. Hasil uji statistik yang dilakukan pada data tersebut menunjukkan bahwa kedua bangsa sapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam hal parameter tersebut diatas (lihat Lampiran 1-4). Hal ini menunjukkan bahwa kedua bangsa sapi ini memiliki kemampuan yang sama dalam mengkonsumsi bahan kering. Keadaan tersebut dapat disebabkan sapi PFH yang digunakan merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan PO, sehingga kedua sapi ini memiliki kesamaan genetik. Selain hal tersebut sapi PO dan PFH yang digunakan memiliki bobot badan yang hampir sama sehingga kedua sapi ini mempunyai kemampuan yang hampir sama juga untuk mengkonsumsi bahan kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Soebarinoto et al. (1991), yang menyatakan bahwa perbedaan kemampuan ternak dalam mengkonsumsi pakan disebabkan oleh aspek individu, spesies dan bangsa ternak, status fisiologis, kebutuhan energi, kualitas pakan dan kondisi lingkungan.
Konsumsi BK sapi PO sebesar 2,01% dari bobot badan dan sapi PFH 2,08% dari bobot badan, konsumsi tersebut lebih rendah dari yang disarankan oleh Kearl (1982), yaitu bahwa sapi dengan bobot badan 200 kg dengan target pertambahan bobot badan harian 1 kg membutuhkan BK 2,80% bobot badan. Menurut Parakkasi (1999), tinggi rendahnya konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh potensi genetik ternak. Siregar (2003), menyatakan kemampuan sapi dalam mengkonsumsi bahan kering pakan dipengaruhi oleh faktor ternak itu sendiri, keadaan ransum pakan dan bobot badan sapi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa semakin tinggi bobot badan sapi akan semakin menurun kemampuannya dalam mengkonsumsi bahan kering pakan.
Persentase kecernaan BK sapi PO adalah 72,99% dan sapi PFH 72,20 %. Konsumsi BK tercerna antara sapi PO dan PFH masing-masing adalah 3.647 g/hari dan 3.823 g/hari, konsumsi BK ini hampir sama (Tabel 3). Hasil uji statistik untuk persentase kecernaan BK dan besarnya BK yang tercerna menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,005; lihat Lampiran 5 dan 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa antara sapi PO dan PFH memiliki kemampuan menampung digesta yang hampir sama dan laju pakan dalam saluran pencernaan juga tidak berbeda. Selain hal tersebut mungkin juga dapat disebabkan lamanya pakan di dalam rumen kedua bangsa hampir sama dan jumlah populasi mikroba rumen juga sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Arianto dan Sarwono (2001), bahwa kecernaan pakan antara lain ditentukan oleh lamanya pakan berada di dalam rumen dan jumlah populasi mikroba rumen, semakin banyak mikroba rumen dan semakin lama pakan berada di rumen semakin banyak pakan yang dapat dicerna. Menurut Cambell dan Lasley (1985), tingkat kecernaan pakan dapat dipengaruhi oleh laju pakan dalam saluran pencernaan.

4.2. Deposisi Protein

Hasil penelitian mengenai rata-rata konsumsi protein kasar (PK), pengeluaran PK, konsumsi PK tercerna, kecernaan PK, konsumsi PK terdeposisi, deposisi PK, laju pertambahan bobot badan harian (PBBH), dan PBBH dapat dilihat pada Tabel 4. Data pada Tabel 4 menunjukan bahwa konsumsi PK total pada sapi PO (603 g/hari) dan pada sapi PFH (638 g/hari) tidak berbeda nyata (P>0,05; Lampiran 9). Tidak adanya perbedaan statistik dalam mengkonsumsi PK, karena umur dan bobot badan kedua bangsa sapi yang digunakan hampir sama. Umur bangsa sapi yang digunakan 1,5-2 tahun, sedangkan bobot badan sapi PO 195,9 kg dan PFH 198,64 kg. Umur ternak berpengaruh terhadap kapasitas saluran pencernaan jadi berpengaruh terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi. Sapi dengan bobot badan yang hampir sama memiliki kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi yang hampir sama sehingga pakan yang dikonsumsi juga hampir sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) yang menyatakan konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot badan, permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi.
Tabel 4. Rata-rata Konsumsi PK, Pengeluaran PK, Konsumsi PK
Tercerna, Kecernaan PK, Konsumsi PK Terdeposisi, Deposisi
PK,Laju PBBH dan PBBH


Parameter Bangsa Sapi Perbedaan
PO PFH
Konsumsi PK total (g/hari) 603 638 tn
Pengeluaran PK (g/hari) tn
Feses (g/hari)
Urin (g/hari) 216
16 222
24 tn
tn
Konsumsi PK tercerna (g/hari)
Kecernaan PK (%)
Konsumsi PK terdeposisi (g/hari)
Deposisi PK (%)
PBBH (kg/hari) 387
63,41
370
61,54
1,09
415
65,19
392
61,44
1,14 tn
tn
tn
tn
tn
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)

Konsumsi protein tercerna sapi PO sebesar 387 g/hari dan sapi PFH sebesar 415 g/hari, kecernaan PK pada sapi PO adalah 63,41% dan pada sapi PFH adalah 65,19%. Rata-rata dari konsumsi protein tercerna sapi PO dan PFH adalah 401 g/hari dan kecernaan 64,40%. Hasil uji statistik konsumsi protein tercerna dan kecernaan sapi PO dan PFH menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,005; lihat Lampiran 11 dan 12). Hal ini didukung dengan pengeluaran PK feses (Tabel 4) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05; lihat Lampiran 13). Hasil yang tidak berbeda nyata tersebut dapat menunjukkan bahwa antara sapi PO dan PFH memiliki kemampuan mencerna PK dan laju pencernaan PK yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Lubis (1992) yang menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh saluran pencernaan. Menurut Soeparno (1994) faktor yang mempengaruhi degradasi protein pakan di dalam rumen adalah pakan dan ternak.
Deposisi protein sapi PO dan PFH masing-masing sebesar 61,54% dan 61,44% sedangkan konsumsi protein terdeposisi pada sapi PO sebesar 370 g/hari dan pada sapi PFH sebesar 392 g/hari. Berdasarkan uji statistik, deposisi protein dan konsumsi deposisi protein pada kedua bangsa tidak berbeda nyata (P>0,05; lihat Lampiran 15 dan 16). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa sapi PO dan PFH memiliki kemampuan yang sama dalam mendeposisikan protein pakan. Deposisi protein menurut (Montgomery et al., 1993) antara lain dipengaruhi oleh hormon tiroksin. Hormon ini dipengaruhi oleh genetik dan suhu lingkungan. Menurut Orskov (1992), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi deposisi protein adalah faktor genetik.
Jumlah protein yang terdeposisi dapat dipengaruhi oleh kualitas protein pakan yang dikonsumsi, seperti yang dinyatakan oleh Boorman (1980), bahwa kualitas protein merupakan faktor penting yang menentukan efisiensi deposisi protein tubuh, dimana deposisi protein akan menentukan produksi dan pertumbuhan ternak semakin tinggi deposisi protein maka pertumbuhan akan semakin baik
Hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai positif karena terdapat peningkatan bobot badan selama penelitian. Hasil ini sesuai dengan pendapat (Maynard dan Loosli, 1969; Crampton dan Harris, 1969) yang menyatakan deposisi protein yang bernilai positif akan menyebabkan terjadi kenaikkan bobot badan yang disebabkan terjadi pertambahan jaringan daging, pertambahan bobot badan yang terjadi akan digunakan untuk produksi, pertambahan bobot badan dan fungsi tubuh lainnya.
Pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan oleh sapi PO dan PFH dalam penelitian ini masing-masing 1,09 kg/hari dan 1,14 kg/hari. Hasil uji menunjukkan bahwa PBBH kedua bangsa tidak berbeda nyata (P>0,05; lihat Lampiran 20). Tidak adanya perbedaan yang nyata antara kedua bangsa dalam PBBH ini sejalan dengan kenyataan bahwa jumlah PK yang terdeposisi juga tidak berbeda nyata. Menurut Tillman et al. (1998), pakan merupakan faktor yang sangat penting, apabila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah cukup, maka pertumbuhannya akan terjadi cepat, demikian pula sebaliknya. Menurut Anggorodi (1994), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhaan suatu individu adalah faktor genetik. Ditambahkan oleh Tillman et al., (1998) sapi yang secara genetik memiliki tubuh besar akan memiliki pertambahan bobot badan yang lebih cepat dibandingkan dengan sapi yang ukuran tubuhnya kecil.
Pertambahan bobot badan harian yang dicapai oleh sapi PO adalah 1,09 kg. PBBH sapi PO ini lebih tinggi dibandingkan dengan pendapat Williamson dan Payne (1993), yang menyatakan pertambahan bobot badan sapi PO sebesar 0,5 kg/hari dengan pakan yang baik. PBBH sapi PFH dalam penelitian ini sebesar 1,14 kg, hasil ini sesuai dengan pendapat Abidin (2002) yang menyatakan pertambahan bobot badan harian sapi PFH jantan dapat mencapai 1,1 kg. Menurut Nuschati (2000) yang disitasi oleh Pramono et al. (2004) bahwa dengan pemberian pakan lokal berupa singkong, konsentrat pabrik, dan dedak padi pertambahan bobot badan sapi PO mencapai 0,70-0,77 kg/hari dan sapi PFH mencapai PBBH 1,32 kg. Perbedaan pertambahan bobot badan harian hasil penelitian ini dengan penelitian yang lain disebabkan oleh pakan, umur sapi dan bobot badan awal sapi yang digunakan berbeda.

4.3 Konversi Protein Kasar

Konversi protein kasar merupakan hasil perhitungan imbangan antara protein pakan yang dikonsumsi dengan PBBH yang dihasilkan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya konversi pakan adalah faktor genetik, bobot badan, umur, palatabilitas pakan, pertambahan bobot badan harian dan kemampuan ternak dalam mencerna pakan. Hasil perhitungan mengenai konversi protein terkonsumsi, protein tercerna dan protein terdeposisi disajikan pada Tabel 5. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 17-19.
Besarnya konversi PK terkonsumsi pada sapi PO adalah 0,56 dan sapi PFH sebesar 0,57. Konversi PK tercerna pada sapi PO dan PFH masing-masing adalah 0,36 dan 0,38, sedangkan konversi PK terdeposisi pada sapi PO adalah 0,35 dan pada sapi PFH adalah 0,35. Berdasarkan hasil uji statistik, konversi PK terkonsumsi, PK tercerna dan PK terdeposisi pada kedua bangsa sapi tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05; lihat Lampiran 17-19). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara sapi PO dan sapi PFH memiliki kemampuan yang sama dalam mencerna dan memanfaatkan protein pakan menjadi komponen penyusun tubuh. Menurut Cambell dan Lasley (1985), konversi protein adalah kemampuan ternak untuk mengkonversi protein dalam pakan yang dikonsumsi menjadi daging. Dijelaskan lebih lanjut konversi protein pakan tergantung pada tipe pakan yang dikonsumsi, nutrisi pakan yang hilang pada sisa metabolisme, kemampuan ternak mencerna pakan, kebutuhan ternak akan protein yang digunakan untuk pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh.
Tabel 5. Rata-rata Konversi PK Terkonsumsi, Konversi PK Tercerna, dan Konversi PK Terdeposisi


Parameter Bangsa Sapi Perbedaan
PO PFH
Konversi PK terkonsumsi 0,56 0,57 tn
Konversi PK tercerna 0,36 0,38 tn
Konversi PK terdeposisi 0,35 0,35 tn

Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)











BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap sapi PO dan PFH yang diberi pakan rumput gajah, ampas tahu dan singkong, dapat disimpulkan bahwa sapi PO dan PFH memiliki kemampuan yang sama dalam mendeposisikan protein. Sapi PO dan PFH memiliki kemampuan yang setara dalam konsumsi pakan, kecernaan bahan kering, kecernanan protein kasar, konversi pakan, dan pertambahan bobot badan harian.

5.2. Saran

Ampas tahu dan singkong yang digunakan sebagai konsentrat memberikan nilai yang positif terhadap deposisi protein karena terjadi pertambahan bobot badan sehingga pakan ini baik digunakan sebagai pakan dalam usaha penggemukan sapi potong.






DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Arianto, H. M. dan B. Sarwono. 2001. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat Cetakan ke-3. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh R. Murwani).

Blakely, J. dan Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (diterjemahkan oleh B. Srigandono).

Boorman, K. N. 1980. Dietary Contraints on Nitrogen Retention Dalam : P. J. Buttery dan D. B. Lindsay (Editor). Protein Deposition in Animals. 1st Ed. Butterworths, London.

BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Tengah. 1996. Teknologi Penggemukan Sapi Potong. BPTP Jawa Tengah, Ungaran.

Campbell, J. R. dan J. F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Mankind. Edisi ke-2. Tata McGraw- Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi.

Cramton, C. W. dan L. Harris. 1969. Aplied Animal Nutrition. Edisi ke-2. W. H. Freeman and Company, San Francisco.

Department of Primary Industries Queensland. 1991. Feedlotting Notes a Collection of Farm Notes.

Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan K. Praseno).

Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute, Utah Agricultural Experiment Station University, Logan.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-3. PT. Pembangunan, Jakarta.

Maynard , L. A. dan J. K. Loosli. 1969. Animal Nutrition. Edisi ke-6. Mc. Graw Hill Book Company, New Delhi.
Montgomery, R., R. L. Dryer, T. W. Conway, dan A. A. Spector. 1993. Biokimia Jilid 2. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (diterjemahkan oleh Ismadi)
Orskov, E. R. 1992. Protein Nurtrition in Ruminants. Second Edition. Harcount Brace Jovanovich, Publishers, London.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Peregrine, W. T. H., Williams, C. N., J.O. Uzo. 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pramono, D. Subiharta dan Mudjiono. 2004. Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Onggole dan Peranakan Simental terhadap Pemberian Pakan Konsentrat. Dalam : Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special Edition October 2004: Hal 1-4.

Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Edisi I. BPFE, Yogyakarta.

Ranjhan, S. K. 1977. Animal Nutrition. 3rd Ed. Vikas Publishing House, New Delhi.

Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Cetakan I. Penebar Swadaya, Jakarta.

Setiadi, B. 2001. Beternak Sapi Daging dan Masalahnya. CV. Aneka Ilmu, Semarang.

Siregar, S. B. 2003. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soebarinoto, S. Chuzaemi. dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Universitas Brawijaya, Malang.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sosroamidjojo, M. S. 1984. Ternak Potong dan Kerja. Yasaguna, Jakarta.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, 1984. Principles and Procedures of Statistics, Biometrical Approach. 2nd Ed. McGraw-Hill International Book Company, Singapura.

Sugeng, Y. B. 2003. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sugiyono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Cetakan ke-4. CV. Alfabeta, Bandung.

Tillman.A. D., H. Hartadi. dan S Reksohadiprodjo. 1986. Tabel Komposisi Bahan Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University press, Yogyakarta.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh : S. G. N. D. Darmadja).





































Lampiran 1. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Bahan Kering
(BK) Rumput gajah


Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

1.450

930
2 1.250 810
3 1.200 1.160
4 930 1.320
Rata-rata 1.208 1.055
Standard deviasi (sd) 214,22 228,69
Varians (s2) 45.890,21 52.299,12

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:

: 1,14

F 0,05 (3;3) : 9,28

F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen Uji t-student Konsumsi BK rumput gajah t hitung = t hitung = Lampiran 1. Lanjutan = = = 0,98 t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi BK rumput gajah Lampiran 2. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Bahan Kering (BK) Ampas Tahu Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 1.960 1.840 2 1.580 2.120 3 2.140 2.320 4 1.750 2.070 Rata-rata 1.857 2.088 Standard deviasi (sd) 244,18 197,21 Varians (s2) 59.623,87 38.891,78 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,53 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung < F tabel, maka data tidak bersifat homogen Uji t-student Konsumsi BK ampas tahu t hitung = t hitung = Lampiran 2. Lanjutan = = = 1,47 t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi BK ampas tahu Lampiran 3. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Bahan Kering (BK) Singkong Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 2.060 1.920 2 1.690 2.200 3 2.230 2.410 4 1.780 2.100 Rata-rata 1.940 2.158 Standard deviasi (sd) 249,40 204,35 Varians (s2) 62.200,36 41.758,92 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,49 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung > F tabel, maka data bersifat tidak homogen
t hitung =
t hitung =





Lampiran 3. Lanjutan

=
=
= 1,35
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi BK singkong Lampiran 4. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Bahan Kering (BK) Total Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 5.470 4.690 2 4.520 5.130 3 5.570 5.890 4 4.460 5.490 Rata-rata 5.005 5.300 Standard deviasi (sd) 596,57 511,60 Varians (s2) 355.895,76 261.734 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,36 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen Uji t-student Konsumsi BK total t hitung = t hitung = Lampiran 4. Lanjutan = = = 0,95 t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi BK total Lampiran 5. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Bahan Kering (BK) Tercerna Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 4.084 3.406 2 3.166 3.692 3 3.865 4.079 4 3.473 4.115 Rata-rata 3.647 3.823 Standard deviasi (sd) 408,41 337,72 Varians (s2) 166.798,73 114.054,80 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,50 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen Uji t-student Konsumsi BK Tercerna t hitung = t hitung = Lampiran 5. Lanjutan = = = 0,66 t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada BK tercerna Lampiran 6. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Kecernaan Bahan Kering (BK) Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 % 74,66 72,62 2 70,04 71,96 3 69,39 69,25 4 77,86 74,96 Rata-rata 72,99 72,20 Standard deviasi (sd) 4,01 2,35 Varians (s2) 16,08 5,52 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 7,5 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen Uji t-student Konsumsi PK total t hitung = t hitung = Lampiran 6. Lanjutan = = = 0,34 t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada kecernaan BK Lampiran 7. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Protein Kasar (PK) Ampas Tahu Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 420 390 2 340 450 3 460 500 4 370 450 Rata-rata 398 448 Standard deviasi (sd) 53,15 45,00 Varians (s2) 2.824,92 2.025,00 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,40 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung > F tabel, maka data tidak bersifat homogen
Uji t-student Konsumsi PK Ampas Tahu
t hitung =
t hitung =




Lampiran 7. Lanjutan

=
=
= 1,44
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi PK ampas tahu Lampiran 8. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Protein Kasar (PK) Singkong Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 50 50 2 40 50 3 60 60 4 40 50 Rata-rata 48 53 Standard deviasi (sd) 9,57 5,00 Varians (s2) 91,58 25,00 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 3,66 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen Uji t-student Konsumsi PK Singkong t hitung = t hitung = Lampiran 8. Lanjutan = = = 0,93s t tabel (0,05; 6) = 1,943 t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi PK singkong Lampiran 9. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Protein Kasar (PK) Rumput Gajah Ulangan Bangsa Sapi Sapi PO Sapi PFH 1 gr/hari 190 120 2 160 110 3 160 150 4 120 170 Rata-rata 158 138 Standard deviasi (sd) 28,72 27,54 Varians (s2) 824,84 758,45 Perhitungan uji homogenitas: F hitung : varians terbesar varians terkecil : : 1,09 F 0,05 (3;3) : 9,28 F hitung > F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Konsumsi PK total
t hitung =
t hitung =



Lampiran 9. Lanjutan

=
=
= 1,00
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi PK rumput gajah


















Lampiran 10. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Protein Kasar (PK) Total

Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

660

560
2 540 610
3 680 710
4 530 670
Rata-rata 603 638
Standard deviasi (sd) 78,48 66,02
Varians (s2) 6.159,11 4.358,64

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,41
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Konsumsi PK total
t hitung =
t hitung =



Lampiran 10. Lanjutan

=
=
= 0,74
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi PK




























Lampiran 11. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konsumsi Protein Kasar (PK) Tercerna

Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

442

359
2 322 408
3 401 412
4 382 482
Rata-rata 387 415
Standard deviasi (sd) 49,98 50,75
Varians (s2) 2.498,00 2.575,56

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,03
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Konsumsi PK tercerna total
t hitung =
t hitung =



Lampiran 11. Lanjutan

=
=
= 0,79
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konsumsi PK tercerna























Lampiran 12. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Kecernaan Protein Kasar
(PK)

Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 %

66,42

64,04
2 58,08 66,72
3 56,99 57,93
4 72,13 72,08
Rata-rata 63,41 65,19
Standard deviasi (sd) 7,18 5,88
Varians (s2) 51,55 34,57

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,17
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Kecernaan PK
t hitung =
t hitung =




Lampiran 12. Lanjutan

=
=
= 0,38
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada kecernaan PK
















Lampiran 13. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Protein Kasar (PK) Feses
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

218

201
2 218 202
3 279 298
4 148 188
Rata-rata 216 222
Standard deviasi (sd) 53,74 51,09
Varians (s2) 2.887,99 2.610,19

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 2,36
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student PK Feses
t hitung =
t hitung =




Lampiran 13. Lanjutan

=
=
= 0,16
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada PK feses
















Lampiran 14. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Protein Kasar (PK) Urine
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

17

20
2 30 49
3 5 17
4 14 8
Rata-rata 17 24
Standard deviasi (sd) 10,35 17,52
Varians (s2) 107,12 306,95

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 2,42
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student PK Urine
t hitung =
t hitung =




Lampiran 14. Lanjutan

=
=
= 0,69
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada PK urine















Lampiran 15. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Protein Terdeposisi
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 gr/hari

425

339
2 292 359
3 396 395
4 368 474
Rata-rata 370 392
Standard deviasi (sd) 57,28 59,75
Varians (s2) 3.281,00 3.570,06

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,09
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Protein Terdeposisi
t hitung =
t hitung =




Lampiran 15. Lanjutan

=
=
= 0,53
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada kecernaan BK
















Lampiran 16. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Deposisi Protein
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 %

64,46

60,49
2 54,05 58,89
3 58,20 55,57
4 69,46 70,81
Rata-rata 61,54 61,44
Standard deviasi (sd) 6,79 6,57
Varians (s2) 46,10 43,16

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,07
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Protein Terdeposisi
t hitung =
t hitung =




Lampiran 16. Lanjutan.

=
=
= 0,02s
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada deposisi protein















Lampiran 17. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konversi PK Terkonsumsi
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH

1
0,50
0,50
2 0,64 0,69
3 0,52 0,49
4 0,59 0,61
Rata-rata 0,56 0,57
Standard deviasi (sd) 0,06 0,09
Varians (s2) 0,0036 0,0081

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,65
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student PK Terdeposisi
t hitung =
t hitung =





Lampiran 17. Lanjutan

=
=
= 0,2
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konversi PK terkonsumsi















Lampiran 18. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konversi PK tercerna
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH

1
0,34
0,32
2 0,38 0,46
3 0,31 0,28
4 0,42 0,44
Rata-rata 0,36 0,38
Standard deviasi (sd) 0,05 0,09
Varians (s2) 0,003 0,008

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 2,67
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Protein Terdeposisi
t hitung =
t hitung =





Lampiran 18. Lanjutan

=
=
= 0,4
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konversi PK tercerna















Lampiran 19. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Konversi PK terdeposisi
Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH

1
0,32 0,30
2 0,34 0,40
3 0,30 0,27
4 0,41 0,43
Rata-rata 0,35 0,35
Standard deviasi (sd) 0,05 0,08
Varians (s2) 0,003 0,006

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 2,00
F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Protein Terdeposisi
t hitung =
t hitung =





Lampiran 19. Lanjutan

=
=
= 0
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung < t tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada konversi PK terdeposisi
















Lampiran 20. Uji Homogenitas dan Uji t-student untuk Pertambahan Bobot
Badan Harian (PBBH)

Ulangan Bangsa Sapi
Sapi PO Sapi PFH


1 kg/hari

1,31

1,12
2 0,85 0,89
3 1,3 1,45
4 0,9 1,10
Rata-rata 1,09 1,14
Standard deviasi (sd) 0,25 0,23
Varians (s2) 0,06 0,05

Perhitungan uji homogenitas:

F hitung : varians terbesar
varians terkecil

:
: 1,2

F 0,05 (3;3) : 9,28
F hitung < F tabel, maka data bersifat homogen
Uji t-student Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
t hitung =
t hitung =



Lampiran 20. Lanjutan

=
=
= 0,29
t tabel (0,05; 6) = 1,943
t hitung  t tabel, maka tidak ada perbedaan yang nyata antara sapi PO dan sapi PFH pada PBBH.



























Lampiran 21. Hasil Analisis Pakan

TAMPILAN KONSUMSI PAKAN,VFA,PROLAKTIN,,EFESIENSI PROTEIN DAN PRODUKSI SUSU AKIBAT ARAS SUPLEMENTASI Sauropus androgynus Merr. (KATU) DALAM RANSUM SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sub Sektor Peternakan memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya produksi susu, yang dari tahun ketahun permintaannya semakin meningkat dengan pertambahan jumlah penduduk, kemajuan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya susu dlam kehidupan
Permintaan susu secara Nasional baru dapat terpenuhi dengan produksi dalam negeri sebanyak 40 % sedangkan 60 % lainnya dipenuhi susu import. Ketidak mampuan dalam memenuhi permintaan susu dikarenakan produktivitas Sapi Perah Indonesia rata-rata masih rendah karena kualitas pakan, kualitas bibit dan tatalaksana pemeliharaan yang belum optimal.
Pembangunan Sub Sektor Peternakan khususnya Sapi Perah di Jawa Tengah terutama diusahakan oleh peternak kecil dipedesaan bertujuan untuk meningkatan pendapatan, perbaikan gizi masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan menghemat devisa.
Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu propinsi yang menjadi pusat pengembangan Sapi Perah di Indonesia selain Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan populasi pada tahun 2002 sebanyak 119.026 ekor tersebar di 35 Kabupaten/Kota terutama pada jalur susu yaitu Kabupaten Boyolali mempunyai populasi Sapi Perah tertinggi yaitu 63.848 ekor, kemudian disusul Kabupaten Semarang sebanyak 27.692 ekor, Kabupaten Klaten 7.899 ekor dan Kota Salatiga 6.769 ekor, sedangkan daerah Kabupaten/Kota lainnya rata-rata populasinya masih dibawah 3.000 ekor.Produksi air susu Sapi Perah di Jawa Tengah pada tahun 2002 adalah sebesar 80.063.770 liter, dengan rata-rata produksi antara 5,6 – 8 liter / ekor / hari dengan rata-rata calving interval 18 bulan.
Dalam rangka peningkatan produktivitas sapi perah dipandang bahwa daun katu (Katuk Babing katu Sauropus androgynus Merr) sebagai pakan suplemen diharapkan dapat memberikan dampak positip untuk meningkatkan konsumsi pakan efesiensi protein dan kualitas dan kuantitas produksi susu, untuk lebih jelasnya mekanisme proses pengaruh katu terhadap pertumbuhan kelenjar ambing dan konsentrasi susu bisa dilihat pada ilustrasi berikut ini:



Sauropus androgynus (L.) Merr. (SA)




ASAM-ASAM : 6. 7.
1. OCTADECANOAD AS. 17-KETOSTEROID AS. 3-4 DIME-
2. HEPTADECATRIONAD ANDROSTAN 17 ONE THYL-2-OXO-
METHYL ESTER 3-ETHYL-3-HYDROXY- CYCLOPEN-
3. OCTADECATRIONAD 5 ALPHA THYL-3-ENY-
ETHYL ESTER LACETAD
4. EICOSATRIONAD ESTER
5. EICOSYNAD




BERPERAN AWAL PADA STIMULATOR BIO- MERANGSANG
PEMBENTUKAN: SINTESIS HORMON STEROID KINERJA
a. PROSTAGLANDIN MIKROBIA
b. PROSTACYCLIN RUMEN
c. THROMBOXANE a. KINERJA REPRODUKSI (MENINGKAT-
d. LIPOXINE b. BIOSINTESIS SUSU KAN FERMENTA-
e. LEUKOTRINES c. PERTUMBUHAN SI RUMEN


Ilustrasi 1. Kandungan Kimiawi dan Fungsi Sauropus androgynus (L.) Merr.
(Soeprayogi, 2000)

Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka dilakukan penelitian dengan judul Tampilan konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1..2. Tujuan Penelitian
Mengetyahui konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1.3. Manfaat Penelitian
Memperoleh Informasi tentang konsumsi pakan ,VFA,Prolaktin,Efesiensi protein,dan produksi susu akibat aras suplementasi Souropus Androgynus merr dalam ransum sapi perah
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dengan pemberian saplemen katu diharapkan :konsumsi pakan ,konsentrasi VFA,Prolaktin produksi susu dan efesiensi protein.
1.5. Kerangka Pemikiran
Produksi susu pada ternak sapi perah dipengaruhi oleh 30% faktor genetik dan 70 % faktor lingkunan diantaranya kualitas dan kuantitas pakan. Sapi Perah akan menghasilkan produksi susu yang tinggi dan memberikan hasil yang sesuai dengan kemampuannya bila diberikan pakan yang cukup dan dalam imbagan yang tepat, dalam hal ini pakan harus mengandung zat-zat makanan yang sesuai untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Soeharsono, 1985). Pemberian pakan konsentrat dengan kualitas yang baik akan mempengaruhi kelenjar ambing untuk mensintesis susu (Anderson, 1985). Kapasitas kelenjar ambing untuk mensintesis susu tergantung kecukupan nutrisi pakan pada pertumbuhan kelenjar ambing selama masa laktasi (Sudjatmogo, 1998). Perkembangan kelenjar ambing secara karakteristik terdiri atas tiga tahap yaitu : 1) pertumbuhan ductus oleh estradiol; 2) pertumbuhan lobus alveolus oleh progesterone dan 3) permulaan dan pemeliharaan laktasi oleh kerja prolaktin (Turner dan Bagnara, 1976). Prolaktin berfungsi untuk mengaktifkan perkakas sintesis sel-sel sekretoris kelenjar ambing Percabangan dan pembentukan lobul alveola kelenjar ambing terjadi setelah proses pemanjangan saluran kelenjar ambing selesai serta dipengaruhi oleh kontrol progesterone dan laktogen placenta (Forsyth, 1986). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing akan menyebabkan aktivitas sintesis protein meningkat.
Katu (Sauropus androgynus) merupakan tumbuhan semak yang tingginya dapat mencapai 2-3 meter dan tumbuh di dataran rendah maupun tinggi serta mudah dibudidayakan dengan cara stek untuk perbanyakan tumbuhan katu tersebut (Supardi, 1965). Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan ASI (Anonym, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan,hipertensi,hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al.,1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah,peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada Abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kwalitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997 ) Katu mengandung 7 asam diantaranya asam 17- Ketosteroid Androstan 17 one 3- ethyle – 3 Hidroxy 5 Alpha dari asam Androstan ini berfungsi sebagai pembentuk hormon estrogen,progesteron dan lagtogen plasenta sedangkan Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel lactotrop bagian depan hypopisa dengan adanya bantuan hormon estrogen,progesteron lagtogen plasenta insulin dan kartisol selama bunting akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ambing diantaranya pemanjangan nsistem saluran meningkatnya jumlah percabangan dan sel epitil atau sebagai pelamak pemacu pertumbuhamn ambinmg. Sedangkan kandungan asam yang ke 7 ,Asam 3-4 Denetyl –2- Oxocyclopenthyl –3-Enylagcetat ini berperan merangsang kinerja mikrobia rumen ,sehingga dapat meningkatkan VFA dengan meningkatnya VFA akan meningkatkan VFA VFA asam butirat,asam propionat dan asam asetat dari ketiga sam tersebut akan dirubah menjadi glukosa,setelah itu glukosa akan dirubag menjadi laktosa susu yang akan meningkatkan air susu dalam susu sehingga produksi susu akan meningkat.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. Sapi Frision Holstein (FH)
Karakteristik sapi perah warna belang hitam putih pada dahi ada warna putih yang berbentuk segitiga, kaki bagian bawah dab ekor warna putih, tanduk pendek menjurus ke depan; adapun sifat dari sapi tersebut tenang, jinak dan mudah dikuasai (Mulyono, 1985), tidak tahan di daerah yang panas dan dia lebih mudah menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, waktu dewasa tidak begitu cepat, berat badan yang jantan mencapai 800 kg sedang betina 625 kg; produksi susu dapat mencapai 4.500 – 5.500 liter per satu masa laktasi. Sapi tersebut berasal dari negeri belanda.
Fries Holland (FH) berasal dari Belanda, dikenal sebagai holstein sedangkan di Amerika dan Eropa dikenal dengan friesion. Warna putih belang hitam atau warna hitam putih ssampai warna hitam, ekor harus putih warna hitam tidak diperbolehkan di bawah persendian siku dan lutut. Badan dan ambing besar, kepala panjang sempit dan lurus, tanduk mengarah ke depan dan membengkok ke dalam. Dewasa umur 18 bulan, untuk anak pertama umur 28 – 30 bulan, berat badan betina 650 kg dan yang jantan 700 – 900 kg. Produksi susu mencapai 5982 liter per satu masa laktasi dengan kadar lemak 3,7% (Suprastowo dan Syarief, 1985). Menurut Blakely dan Bade (1994) perkembangan awal bangsa sapi perah Fresian Holstein (FH) bermula dari dua ekor yang dipelihara oleh suatu keluarga di Amerika dan merupakan bangsa sapi perah yang paling meninjol yakni sekitar 80 – 90% dari jumlah sapi yang ada.
2.Pakan
2.1.Hijauan
Hijauan adalah bahan pakan dalam bentuk daun-daunan yang kadang-kadang masih bercamour dengan batang, ranting serta bunga yang pada umumnya uang berasal dari tanaman sebangsa rumput dan kacang-kacangan (Lubis, 1963). Di daerah tropis pada umumnya suhu relatif panas sehingga kualita hijauan cenderung lebih rendah sehingga kurang tepat bila hijauan diberikan sebagai satu-satunya bahan pakan sapi perah laktasi, maka pemenuhan zat-zat gizi yang tidak tersedia di dalam pakan hijauan dipenuhi melalui pakan konsentrat (Sutardi, 1981). Siregar (1990) menyatakan bahwa banyaknya hijauan dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 2% bahan kering dari bobot badan.
2.2.Konsentrat
Menurut Schmidt dan Van Vleck (1974) pakan konsentrat berfungsi sebagai penambah energi, disamping mengandung protein tinggi dan kandungan serat kasarnya kurang dari 18% serta mudah dicerna (Prihadi, 1996). Kualitas konsentrat perlu diperhatikan dalam menyusun ransum sapi perah laktasi dan hal ini ditentukan oleh kandungan energi dan protein (Soelistyono, 1976). Seregar (1990) menyatakan bahwa pemberiann konsentrat yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kadar lemak susu sehingga perlu pengaturan pemberian pakan untuk mencapai produksi susu yang tinggi.
Dalam pemberian ransum pada sapi perah, berdasarkan bahan keringnya perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu pakan yang baik adalah 60 : 40% sehingga akan diperoleh koefisien cerna yang tinggi (Sudjatmogo et al., 1988) dan untuk pakan yang mutunya kurang baik imbangannya menjadi 55% : 45% dan bila mutu pakan sangat baik imbangannya menjadi 64 : 36% guna memberikan energi sebanyak mungkin (Siregar, 1990; Blakely dan Bade, 1994).
2.3.Katu Katu (Sauropus androgynus Merr.)
Katu adalah tumbuhan semak yang bisa mencapai tinggi 2 – 3 meter, tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dan sangat mudah dibudidayakan, yang dapat diperbanyak dengan cara stek (Supardi,1965).
Katu mengandung zat aktif (sauropi folium) yang baik untuk melancarkan Air susu Ibu ( ASI ) dan mengandung protein,karbohidrat yang sangat baik untuk pertumbuhan (Anonim, 2003). Salah satu persenyawaan aktif dalam daun katu adalah alkaloid dengan nama papaverin (PPV) yang keberadaannya masih diragukan diantara ilmuwan, hal ini dikarenakan uji laboraturium tidak terdapat PPV ( Bender dan Ismail, 1975 ).
Katu banyak digunakan sebagai sayuran dan banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia, Vietnam, Cina barat dan selatan. Katu diketahui dapat dijadikan obat seperti pada kasus bobot badan,hipertensi,hiperlipidemia dan kontrol konstipasi (GER et al.,1997) Di Indonesia banyak orang percaya bahwa daun katu dapat memacu laktasi Ibu yang menyusui dan sebagai obat tradisional dikemas dalam bentuk tablet yang dikemas dengan nama kaplet lancar ASI. Pada usaha peternakan sapi perah,peternak menggunakan daun katu atau ekstrak sebagai suplemen dalam pakan sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Penelitian ekstrak daun katu yang diambil pada Abumasum dengan menggunakan katheter menunjukan dapat meningkatkan produksi susu yang diikuti oleh kwalitas susu yang stabil ( Suprayogi, 1993; Santoso et al., 1997).
3. Konsumsi Pakan
Tabel 1. Formulasi Ransum Penelitian

Makanan sebagai sumber zat nutrisi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok dan produksi. Tingkat produksi susu yang disekresikan sebagian tergantung pada ketersediaan bahan bakunya di dalam darah dan aliran darah yang mengalir melalui kelenjar ambing (Scmidt, 1971; Larson, 1985; Anderson, 1985). Komponen yang paling penting harus cukup dalam rnasum adalah energi. Kekurangan energi yang berasal dari karbohidrat akan mengakibatkan perombakan zat organik lainnya menjadi energi sehingga keefisienannya akan berkurang. Kekurangan konsumsi energi maupun protein pakan pada ternak yang laktasi umumnya merupakan penyebab utama rendahnya produksi susu (Sutardi, 1981). Oleh karena itu pakan yang diberikan pada ternak selama bunting dan laktasi akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan nantinya. Laktasi mebutuhkan energi yang lebih banyak dibandingkan pada waktu bunting. Pada waktu puncak laktasi, kebutuhan energi untuk sintesis susu dapat mencapai 80% dari neto yang dikonsumsi, kebutuhan ini jauh melebihi kebutuhan pemeliharaan hewan dewasa. Untuk mencukupi aliran substrat ke kelenjar ambing dapat ditempuh dengan perbaikan kualitas pakan, sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu (Collier, 1985).
Pemberian ransum perlu memperhatikan imbangan antara konsentrat dan hijauan. Pemberian konsentrat sebelum hijauan dimungkinkan untuk memaksimalkan jumkjah mikrobia dan mengoptimalkan kerja mikrobia rumen, sehingga hijauan dapat tercerna lebih optimal (blakely dan Bade, 1994).
Energi pada ternak ruminansia tidak bersumber pada glukosa tetapi pada asam lemak terbang yang diproduksi di dalam rumrn. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia selalu rendah, tetapi kebutuhan glukosa meningkat tiga kali lipat pada saat laktasi. Konsentrasi glukosa darah ternak ruminansia berkisar 40 – 80 mg/dl (Collier, 1985
Kebutuhan bahan kering seekor sapi perah laktasi tergantung jenis ternak, ukuran tubuh dan keadaan fisiologis ternak (Sutardi, 1981). Dikatakan Syarief dan Sumopratowo (1985), sapi perah dewasa membutuhkan 2 – 4% bahan kering dari bobot badannya.
Penentuan nilai energi dalam istilah umum adalah energi dapat dicerna (TDN) yang didefinisikan sebagai jumlah bahan organik yaitu protein, BETN, serat kasar dan lemak tercerna (Crampton et al., 1969). Sutardi (1981) menyatakan bahwa kekurangan energi bagi sapi perah yang sedang laktasi dapat menurunkan bobot badan dan produksi susu, bila terjadi defisiensi energi yang berkelanjutan dapat mengganggu proses reproduksinya. Sapi perah yang kelebihan energi akan disimpan sebagai lemak tubuh dan bila kekurangan energi lemak tubuh akan dirombak untuk memernuhi kebutuhan energi tersebut sehingga bobor badan akan menurun (Muljana, 1985).
Penyediaan protein di dalam ransum ternak sangat penting karena protein dalam tubuh berperan sebagai: (1) bahan pembangun tubh dan pengganti sel-sel yang sudah rusak; (2) mengatur lalu lintas zat-zat yang larut; (3) bahan pembuat hormon, enzim dan zat penangkal (Sutardi, 1981). Syarief dan Sumoprastowo (1985) menyatakan bahwa sapi perah laktasi membutuhkan protein kasar sebesar 9 – 12% dari berat pakan dalam bahan kering. Esminger (1991) menyatakan pula bahwa kebutuhan protein sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran dewasa, kondisi tubuh dan rasio energi-protein.

BAHAN PAKAN BK PK SK LEMAK ABU Ca ENERGI
(kal/g)
KONS. A (KONTROL)

KONS. B
(PERLAKUAN)
R. GAJAH
80,7

88,3

23,3
9,0

17,3

14,5
18,11

11,5

33,11
0,38

4,40

1,98
3,92

13,10

12,10
1,26

3,95

1,82
250,70

267,60

142,99


4. Produksi Susu
Sapi setelah beranak mulai memasuki masa laktasi yaitu masa sapi diperah dan menghasilkan susuyang biasanya berlangsung selama 10 bulan qatau 305 hari. Panjang pendeknya masa laktasi tergantung pada mutu ternak frekuensi pemerahan ,kesehatan ternak,kualitas dan kuantitas pakan (Syarief dan Sumoprastowo,1985; Sudono ,1985 )
Produksi susu pada awal laktasi agak rendah, kemudian meningkat dan mencapai puncak antara 4 – 8 minggu setelah beranak dan produksi susu berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Tillman et al., 1991). Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi berhubungan dengan persistensi. Sapi perah yang berproduksi tinggi, biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai puncak produksi apabila dibandingkan dengan sapi yang berproduksi rendah (Prihadi, 1996)
Adanya perbedaan tingginya puncak produksi susu yang dicapai disebabkan oleh faktor genetik, kondisi tubuh dan kualitas pakan (Tillman et al., 1991) sehingga untuk mempertahankan persistensi produksi susu selama laktasi tidak menurun secara drastis, maka kondisi tubuh dan pakan yang diberikan harus mendapat perhatian terutama dari segi kualitasnya.
Penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi, kurang lebih sebesar 6% setiap 6 bulan. Pada umumnya sapi perah mencapai puncak laktasi pada umur 6 – 8 tahun atau pada laktasi ke-4 sampai ke-6 dan setelah itu produksi susu akan mengalami penurunan (Blakely dan Bade, 1994). Produksi susu maksimal untuk sapi perah FH di daerah asal dicapai pada laktasi ke-5, sedangkan untuk daerah tropik dapat lebih cepat, yaitu laktasi ke-3 (Sukoharto, 1990).
Interval pemerahan akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah susu yang dihasilkan dan akan menurunkan kadar lemak susu. Puncak produksi dalam suatu periode laktasi dicapai pada minggu ketiga sampai keenam, kemudian produksi susu akan berangsur-angsur menurun sampai akhir laktasi (Eckles et al., 1951) . Dikatakan oleh Sutardi (1981) bahwa produksi susu sapi FH dan keturunannya di Indonesia adalah 2,92 – 20,9 liter per ekor per hari.
Dikatakan Yin (1984) dalam penelitiannya bahwa peningkatan level serat kasar dari 13% menjadi 20% dalam ransum mengakibatkan turunnya produksi susu dari 8,13 kg menjadi 7,64 kg. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh level protein dari 13% menjadi 20% dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu sapi perah dari 26,5  0,4 kg menjadi 29,9  0,5 kg per hari pada periode laktasi 1 – 8 minggu (Barton et al.,1996). Penelitian tentang penggunaan tipe konsentrat sumber energi dalam ransum sapi perah dapat mempengaruhi komposisi dan produksi susu (Agus, 1997).
4.1 Komposisi Susu
Dikatakan Wikantadi (1978), komposisi air susu sapi FH adalah 3,5% KL; 3% protein; 4,9% laktosa; 0,7% abu dan 12,2% bahan total padat. Komposisi air susu tergantung pada bangsa sapi, umur sapi, tingkatan laktasi dan status gizi (Tillman et al., 1991); interval pemerahan, suhu lingkungan dan kuantitas ransum (Esminger, 1001). Hadiwiyono (1992) menyatakan bahwa komponen utama susu adalah air, lemak, bahan kering tanpa lemak yang tersusun ari protein, laktosa, mineral dan vitamin. Menurut Sudono (1985), komposisi air susu sapi perah terdiri atas air 87% dan total solid 13%. Total solid terdiri atas solid non fat 9,5% dan fat 3,5%, seangkan solid non fat terdiri atas protein 3,6%, laktosa 4,8%, dan sisanya vitamin dan mineral.
Peningkatan konsentrat dan pengurangan hijauan akan menurunkan kadar lemak susu, karena konsentrat mengandung asam propionat yang digunakan sebagai lemak tubuh (Chamberlain, 1989). Peningkatan protein dalam ransum diatas kebutuhan normal tidak akan meningkatkan produksi susu dan hanya sedikit meningkatkan protein dalam susu sehingga tidak efisien (Suryahadi, 1997). Hasil penelitian Yin (1984) menunjukkan bahwa pengaruh level serat kasar dari 13% ke 20% dalam ransum dapat meningkatkan kadar lemak susu dari 3,37% menjadi 3,78%.
5.VFA (Volatyle fatty Acid )
Fermentasi karbohidrat didalam rumen lebih kurang 60 –70 % dari pakan untuk ternak ruminnansia terdiri dari karbohidrat dengan komponen utama berupa polisakarida. Dalam pakan kasar sebagian besar terdapat sebagai selulosa.Hemiselulusa dan lignin sedangkan dalam konsentrat terdapat sebagai pati. Proses fermentasi dalam Retikulo – rumen dilakukan oleh mikroba.Hasil utama fermentasi karbohidrat didalam retikulo rumen adalah Asam lemak Volatil (VFA = Volatyle fatty acid terutama sanm acetat ( C 2 ).Asam propionat ( C3 ).dan asam butirat (C4) disamping itu dihasilkan pula isobutirat,iso valerat, n-valerat dan laktat.VFA ini merupakan sumber energi utama untuk kebutuhan tubuh ternak induk semang.Perbandingan FVA yang dihasilkan tidak tetap tergantung (1) tipe pakan (komposisi ransum,perbandingan hijauan dan konsentrat,tingkat protein) (2) Pengolahan ( digiling bentuk pelet pemanasan ) dan (3 ) Frekuensi pembertian pakan
Bahaman pakan nutrisi utama yang dibutuhkan untuk metabolisme adalah bahan-bahan yang dihasilkan dari proses pencernaan bahan pakan.Pada ternak berlambung tunggal produk utama dari pencernaan. Karbohidrat adalah glukosa dan galaktosa serta fluktosa dalam jumlah sedikit.Pada ruminansia sebagian besar karbohidrat dufermentasi didalam rumen menjadi VFA yaitu asam asetat,propionat dan butirat.Asam asetat dan propionat diabsorpsi melalui dinding rumentanpa mengalami perubahan.Sedangkan asam butirat masuk kedalam darah portal melalui dinding rumen dalam bentuk asam beta hidroksi butirat (BHBA = Beta hidroxy Butiric Acid ) .Asam asetat dan BHBA melewati hati dan menuju organ-organ serta jaringan-jaringan lewat sirkulasi darah.Kemudian sam tersebut digunakan sebagai sumbbber energi atau untuk sintesis asam-asam lemak.Didalamm hati propionnat diubah menjadi glukosa yang disimpan dalam bentuk glikogen atau diubah menjadi L-glgliserol-3 fosfat serta digunakan untuk sintesis trigliserida.Glukosa yang tersisa masuk peredaran darah kejaru\ingan-jaringan untuk digunakan sebagai sumber energi.
6.Prolaktin (Luteotropik hormon = LH)
Hormon prolaktin pada mamalia merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan proses laktasi (Purbodihardjo, 1992). Hormon adalah zat kimia organik yang mempunyai efektivitas tinggi meskipun hanya dalam jumlah yang sangat sedikit dan dihasilkan oleh sel hidup yang segat dari sebuah kelenjar endokrin, masuk dalam pembuluh darah kemudian melalui sistim peredaran ke suatu organ tujuan atau target organ (Djojosoebagio, 1990). Hormon yaitu senyawa-senyawa kimia dibentuk oleh kelenjar-kelenjar buntu dan masuk dalam darah untuk mengatur proses metabolik dalam sel tubuh (Ganong, 1980). Memu-ut Hafeeez (1980),hoemon yaitu suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh suatu area tertentu dari set hidup organisme, yang akan terdifusi atau diangkut ke bagian lain organisme itu yang akan mengatur integrasi komponen dalam organisme dan mengatur integrasi komponen dalam organisasi dan mengatur aksi dari organisme tersebut. Hormon menurut Partodihardjo (1987) adalah zat organik yang diproduksi oleh sel khusus dalam badan dirembeskan ke dalam peredaran darah, dengan jumlah sangat kecil, dapat merangsang sel-sel tertentu untuk berfungsi.
Prolaktin merupakan hormon protein dari hipopisa anterior dengan bobot molekul 22.000 – 35.000, efek prolaktin yang spesifik adalah merangsang sintesis protein susu termasuk diantaranya laktobumin, lemak dan karbohidrat (Djojosoebagio, 1990; Moses,1977 ). Reseptor dari prolaktin didapati pada tenunan kelenjar ambing dan terdapat pada permukaan dari sel-sel alfeolus. Kadar prolaktin yang sangat tinggi didapati pada fetus, pada kebuntingan 20 minggu kadar prolaktin mencapai 300 ng/ml (Larson, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa prolaktin mengatur konsentrasi dan reseptornya sendiri, ini merupakan sistem kontrol jarak jauh. Dalam sistem ini tingkat pertambahan konsentrasim prolaktin akan menambah konsentrasi reseptor prolaktin. Penelitian menunjukkan bahwa estrogen merangsang sekresi prolaktin dan kemungkinan lain hormon dari pituitary abterior.( Moses,1977 ) prolaktin dipandang suatu hormon reproduksi karena kesanggupannya merangsang laktasi mamalia dan pertumbuhan.
Apabila sapi bunting maka terjadi pertumbuhan dari sistem saluran dan juga alveoli berkembang pesat dikarenakan oleh kerja hormon progesteron pembesaran ambing sebagian besar terjadi karena akumulasi sekresi dari alveoli ke dalam sistem saluran yang kemudian dikeluarkan dan dibentuk kolesterum. Sekresi air susu ini terjadi oleh pengaruh hormon prolaktin atau laktogen. Galaktopoesis merupakan suatu kegiatan yang mempermudah terjadinya laktasi kegiatan ini dilakukan oleh hormon-hormon yang berperan dan memelihara sekresi air susu, diantaranya yaitu prolaktin yang sangat penting di dalam permulaan dan pemeliharaan sekresi air susu, karena hormonm ini memelihara sebagaian dari ensim untuk pembentukan air susu (Schmidt, 1971).
7. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Ambing
Susu sebagai hasil sekresi kelenjar ambing, produksinya tidak terlepas dari kondisi kelenjar ambing itu sendiri sebagai pabrik. Kelenjar ambing yang baik tumbuh dan berkembang baik pula yang dapat dilihat dari banyaknya sel-sel sekretoris yang terdapat di dalam kelenjar ambing tersebut, karena sel-sel inilah yang akan mensintesis komponen-komponen susu (Anderson, 1985). Kelenjar ambing berkembang sesuai dengan perkembangan embrio dan sudah terbentuk sempurna pada saat lahir (Anderson, 1985) dalam bentuk saluran kelenjar yang pada ujung-ujungnya terdapat sel-sel yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi sel-sel sekretoris
















BAB. III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perusahaan peternaan sapi perah PT. RAHMAN ALA MAKMUR (RAM) Boyolali, yang akan dimulai pada bulan September sampai dengan Oktober 2004.

3.2. Materi Penelitian
3.2.1. Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi perah freisian holstein (PFH) laktasi kedua bulan pertama, sebanyak 18 ekor dengan bobot badan berkisar antara 350 – 400 kg dengan kondisi sehat.
3.2.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan meliputi :
1. Timbangan ternak
2. Timbangan pakan
3. Gelas ukur
4. Pita ukur
5. Laktodensimeter
6. Sentrigufuge
7. Tabung reaksi
8. Alat pendingin / Refrigerator
9. Spuit dan canul
10. Kantong plastik
11. Ember
12. Alkohol
13. Vaslin
14. Lab/ handuk


3.2.3. Pakan untuk perlakuan
1. Pakan yang digunakan dalam penelitian yaitu konsentrat yang dibuat sendiri dengan kandungan protein 9% dan 17%.
2. Katu yang sudah dibuat tepung
Komposisi bahan pakan yang digunakan adalah hijauan dari rumput gajah, onggok, bekatul, bungkil kelapa, bungkil biji kapuk, urea, mineral dan garam.
3.3. Metode Penelitian (Prosedur Penelitian)
3.3.1. Pemilihan sapi
Sapi perah awal sebanyak 36 ekor dalam keadaan kering kandang dan bobot badan 350 – 400 kg (CV < 15%). Selanjutnya dari 36 ekor tersebut dipilih 18 ekor yang mempunyai rata-rata produksi susu 8 – 10 liter per hari (CV < 20%) sebagai materi penelitian.
3.3.2. Pelaksanaan penelitian
Sapi perah sebanyak 18 ekor secara acak dialokasikan ke dalam enam perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga sapi. Pengamatan variabel dilakuakn selama empat kali dengan interval pengamatan tujuh hari yang dinggap sebagai kelompok. Perlakuan-perlakuan yang diterapkan sebagai berikut :
P1T0 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% tanpa penambahan tepung katu
P1T1 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,285 g/kg BB
P1T2 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,428 g/kg BB
P2T0 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% tanpa penambahan tepung katu
P2T1 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,285 g/kg BB
P2T2 = Hijauan + konsentrat kebiasaan ternak, dengan protein 12% dengan penambahan tepung katu sebanyak 0,248 g/kg BB
Pakan konsentrat dan tepung katu sebagai perlakuan diberikan mulai pada pralaktasi
3.3.3. Parameter yang diamati
1.Konsumsi pakan sebelum diberikan ditimbang setelah dikonsumsi
Sisanya ditimbang Kualitas pakan yang meliputi ( bahan kering, protein kasar) Pengukuran dilakukan dengan analisis proksimat di fakultas Teknologi Pertanian UGM.
2.Konsentrasi FVA dihitung gram permili meter
3.Prolaktin Pengamatan sempel darah diambil dari masing-masing perlakuan sebanyak 10 CC kemudian dimasukan dalam tabnung reaksi disimpan dalam tremas es kurang lebih 2 –3 jam kemudiian disentrifuge untuk diambil serum darahnya untuk menunggu sempel selanjutnya disimpan dallam refrigator (- 20 derajat selcius )
4.produksi susu (l/ekor/hari), pengukuran sampel dilakukan pada hasil pemerahan pagi dan sore hari selama satu bulan
5.Efesiensi protein.

3.4. Rancangan Percobaan dan Hipotesis Statistik
3.4.1. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini Rancangan Acak lengkap Faktorial (Faktorial – RAL), adalah waktu pengamatan sebanyak empat kali.
Semua parameter diamati untuk setiap individu sehingga analisis yang digunakan adalah analisis varians (Analisys of Varians) dan pengamatan dilakukan pada empat waktu berbeda yaitu pada minggu pertama (Pralaktasi), minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat dengan selang waktu 7 hari.








Lay out penelitian sebagai berikut


KATUK Protein Waktu Pengamatan minggu ke- (Kelompok)
1 2 3 4
T0

T1

T2
P1
P2
P1
P2
P1
P2 Y111
Y121
Y211
Y221
Y311
Y321 Y112
Y122
Y212
Y222
Y312
Y322 Y113
Y123
Y213
Y223
Y313
Y323 Y114
Y124
Y214
Y224
Y314
Y324

Model linier untuk rancangan ini :

Yijk = µ + i + j + Kij + ijk i = 1, 2, 3
j = 1, 2
k = 1, 2, 3, 4

dimana :

Yijk = pengamatan respon katu ke-i dan kadar protein ke-j dan kelompok ke-k
µ = rerata populasi
i = respon perlakuan katu ke-i
j = respon perlakuan kadar protein ke-j
Kij = respon kelompok akibat perlakuan katu ke-i dan perlakuan kadar protein
ke-j
ijk = galat akibat perlakuan katu ke-i perlakuan kadar proyein ke-j dan
ulanganke-k




3.4.2. Hipotesisi yang dapat diambil sebabagi berikut:
1. H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras katu terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
H0 : i = 0; tidak ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%
H1 : i  0; ada perbedaan yang nyata antara aras kadar protein terhadap respon yang diamati pada level kesalahan 5%.
Perhitungan selengkapnya menggunakan paket SAS 6.12 for Windows

3.5. Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan B u l a n
Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
1. Pembuatan proposal
2. Persiapan materi
3. Analisis proksimat pakan
4. Pemilihan sampel
5. Penelitian pendahuluan
6. Pelaksanaan penelitian
7. Analisis laboratorium
8. Pengumpulan data
9. Tabulasi, analisis data dan penulisan laporan 



































 


















DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. 1997. Pengaruh Tipe Konsentrat sumber energi dalam Ransum Sapi Perah Berproduksi Tinggi terhadap Produksi dan Komposisi Susu. Buletin Peternakan. 21 (I : 45-54).

Anderson, R.R. 1985. Mammary Gland. In Lactation. Larson B.L. Ed. Iowa State University Press. Ames. Pp : 3-38

Anonim. 2003. Lancar ASI. PT. Mecosin Indonesia.

Bambang, S. 1981. Rancangan Percobaan Experimental Designs Staf Bagian Biometrika Universitas Diponegoro

Barton, B.A., H.A. Rosario, G.W. Anderson, B.P. Grindle dan D.J. Carroll. 1996. Effect of Dietary Crude Protein, Breed, Parity and Health Status on The Fertility of

Bender, A.E. dan K.S. Ismail. 1975. Nutritive Values and Toxicity of Malaysian Food, Sauropus albicans. Plant Foods Man, 1 : 139-143.

Blakely, J. dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Soedarsono)
.
Collier, R.J. 1985. Nutritional, Metabolic and Enviromental Aspects of L:actation in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University Press. Amess. pp : 80-128
.
Crampton, E.W. dan H. Haris . 1969. Applied Animal Nutrition. 2nd Ed. W.E. Freeman and Company, San Fransisco

Djojosoebagio, S. 1990 Fisiologi kerlenjar Endokrin Vol. I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidika Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,Institut Pertanian Bogor.Bogor

Djojosoebagio, S. 1990 Fisiologi kerlenjar Endokrin Vol. II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidika Tinggi.Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat,Institut Pertanian Bogor.Bogor
.
Ensminger, M.E. 1991. Dairy Cattle Science. 3th Ed. Interstate Published Inc. Angelwood Cliffs, New Jersey
.
Forsyth, I.A. 1986. Varition among Species the Endokrine Control of Maamary Growth and Function. The Role of Prolactin, Growth Hormone and Plasental Laktogen. J. Dairy Sci. 46 : 1293-1298.

GER, L.P., A.A. Chiang, R.S. Lai, S.M. Chien dan C.J. Tseng. 1997. Association of Sauropus androgynus and Bronchiolitis obliterans syndrome : A Hospital-based Case Control Study. American Journal of Epidemiology, 145 (9) : 842-849

Hafez, E. S. E. 1980. Reproduction In Farm Animal Ed. Lea And Fibiger Philadelpia,USA.

Kehrli, M.E.J.R. dan D.E.Shuster.1993.Factors Afecting Milk Somatic Cell Their Role In Health of The Bovine Mamary Gland .J. Dairy Sci. 77: 619 - 627
.
Larson, B.L. 1985. Biosynthesis and Selluler Secretion of Milk in B.L. Larson : Lactation. Iowa State University / Ames. pp : 129-163.

Loekito , A.S. 1996. Pengantar Perancangan Percobaan Suatu Pendekatan Praktis Penerbit Ikip Malang

Lubis, D.A. 1963 Ilmu Makanan Ternak PT Pembangunan Jakarta

Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan .Penerbit Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan. Fakultas Kedokteran Veteriner. Jurusan Reproduksi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan .Penerbit Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan. Fakultas Kedokteran Veteriner. Jurusan Reproduksi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Muljana, W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. Aneka Ilmu, Semarang.

Prihadi, S. 1996. Tata Laksana dan Produksi Ternak Perah. Fakultas Pertanian Universitas Wangsamanggala, Yogyakarta.

Santoso, S.O., M. Hasanah, S. Yuliani, A. Setiawati, Y. Mariana, T. Handoko, Risfaheri, anggraeni, A. Suprayogi, N. Kusumorini dan W. Winarno. 1997. Production of Medicine Product from Katuk’s leaves (Sauropous androgynus Merr) to increase the secretion and quality of Brest Milk. Integreted Priorities Research (Riset Unggulan Terpadu II).

Scmidt, G.H. 1971. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.

Scmidt, G.H. dan L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco
.
Siregar, S. 1990. Sapi Perah, Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharsono. 1985. Eksplorasi Kemungkinan Pengembangan Sumber Hijauan Makanan Ternak Ruminansia. Buletin PPSKI No. 5 Th V, Bandung.

Soelistyono, H.S. 1976. Dasar-dasar Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. (Tidak Dipublikasikan)
.
Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan terhadap Pertumbuhan dalam Upaya Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sudjatmogo, Sumarsono dan Iswarti. 1988. Pengaruh Pemberian Berbagai Tingkat Konsentrat dalam Ransum terhadap Produksi Kadar Lemak dan Berat Jenis Air Susu Sapi Perah Friesian Holstein. Proceeding Seminar Progam Penyediaan Pakan dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi . Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sukoharto. 1990. Pedoman untuk Perencanaan Ekonomi Pembangunan Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supardi. 1965. Apotik Hijau. Tumbuhan Obat –obatan PT Purnama Warana Surakarta
.
Suprayogi, A. 1993. Meningkatkan Produksi Susu Kambing melalui Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr). Agrotek, 1 (2) September 1993 : 61-62
.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak Diterbitkan).

Syarief, M.Z. dan R..M. Sumoprastowo. 1985. Ternak Perah. CV. Yasaguna, Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosekotjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Turner dan Bagnara. 1988. Endrokinologi Umum. Edisi ke-6. Erlangga University Press, Surabaya. (Diterjemahkan oleh Harsojo).

Wikantadi, B. 1978. Biologi Laktasi. Cetakan II. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yin , Chi Tsai. 1984. Effect of Dietary Fiber Level on Lactating Dairy Cows in the Philippines. State of The Art Abstract Bibliography of Dairy Resaearches. 4 : 17. (Abstr).